Kamis, Agustus 23, 2007

Gerakan Mahasiswa Harus Bisa Bangun Jaringan Yang Kuat

Jangan Mudah Dicampuri Kekuatan Asing
Gerakan mahasiswa tidak dapat bergerak sendiri untuk menggapai tujuannya. Mereka harus mampu membangun jaringan antarkelompok gerakan agar pola gerakannya menjadi kuat. Saat ini ditengarai gerakan mahasiswa sudah terpolarisasi, bahkan terbelah-belah, oleh kepentingan masing-masing kelompok.

Demikian antara lain benang merah yang mengemuka dalam simposium nasional bertajuk "Rekonstruksi Pergerakan Mahasiswa dalam Membangun Bangsa". Acara ini diadakan oleh Pimpinan Pusat Himpunan Mahasiswa dan Mahasiswi Persatuan Islam di Gedung Indonesia Menggugat, Minggu (27/5).

Hadir sebagai pembicara adalah Fuad Bawazier, politisi nasional; Syahrin Hamid, perwakilan aktivis '98; dan Hery Suhermanto, perwakilan Bappenas. Syahrin Hamid menjelaskan, gerakan mahasiswa dewasa ini sudah terpolarisasi sedemikian rupa. Mahasiswa terbelah berdasarkan kepentingan masing-masing kelompok, bahkan ada yang diindikasi tidak lagi independen.

Idealnya, kata Syahrin, mahasiswa harus membentuk jaringan antarmahasiswa untuk menyamakan gerakan. Cara ini akan lebih efektif untuk menghadapi tantangan menuntaskan agenda reformasi dan setelah reformasi.

Menurut Syahrin, salah satu tantangan terbesar mahasiswa adalah kemiskinan. Kemiskinan muncul bukan karena orang-orang miskin itu kurang beruntung, tetapi karena mereka tidak mendapatkan akses untuk mendapatkan pekerjaan yang layak. "Siapa yang menentukan akses tersebut, ya pemerintah. Inilah tantangan mahasiswa," kata Syahrin.
Kekuatan asing
Tantangan lainnya adalah memerangi kekuatan asing yang kian menguasai pemimpin bangsa ini. Syahrin memberikan contoh sikap pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono yang awalnya mendukung kebijakan Pemerintah Iran,tetapi kemudian beralih mendukung Amerika dalam hal nuklir. Ini merupakan bentuk sikap yang mudah dikendalikan kekuatan asing.

Salah satu kelemahan pemimpin saat ini, kata Fuad, adalah mudah dikendalikan kekuatan asing. Contohnya, setiap kebijakan yang diambil Pemerintah Indonesia harus mendapat restu dari Amerika. Rendahnya mentalitas pemimpin bangsa ini, lanjutnya, juga terlihat dari banyaknya pejabat yang terlibat kasus korupsi.

"Pada zaman kemerdekaan, banyak pemimpin yang masuk penjara karena berjuang memerdekakan bangsa. Sekarang ini banyak pejabat masuk penjara karena korupsi," ujarnya.
Lebih lanjut Fuad mengatakan, "Pemimpin zaman dulu selalu berpikir tentang masa depan. Pemimpin sekarang berpikir tentang masa lalu. Dulu bersatu melawan asing, sekarang berlomba membangun jaringan dengan asing untuk kepentingan dirinya, bukan idealisme seperti para angkatan '45. Ini pengkhianatan." (Kompas, 28 Mei 2007/MHF)

Tidak ada komentar: