Kamis, Agustus 23, 2007

Diskusi Masalah Sampah Bandung dalam Event Stokbuku Bandung 2006

Reformasi Pengelolaan Sampah!
Kepulan gas hitam terlepas ke udara saat tumpukan sampah di Jalan Puter (09/06) dikeruk untuk kemudian diangkut menuju TPA Cikubang di Desa Sumurbandung, Cipatat, Kabupaten Bandung. Belasan truk dan alat berat menunjukkan kemampuannya untuk mengenyahkan sampah yang menggunung semenjak April lalu, tapi tidak dapat menghilangkan rasa kecewa warga sekitar. Sampah mengakibatkan air sumur warga berubah warna dan bau sehingga terpaksa ditutup. Kesehatan warga pun tak luput dari serangan tumpukan sampah. Bau busuknya mengakibatkan mual, pusing, dan kesulitan bernafas. Warga meminta untuk TPS di Jalan Puter segera ditutup. Menurut mereka, pemerintah telah melanggar janjinya 14 tahun lalu yang mengatakan TPS Jalan Puter hanya bersifat sementara. Dan parahnya, sudah tiga kali peristiwa tumpukan sampah terjadi tanpa pengelolaan yang bijak dari Perusahaan Daerah Kebersihan Kota Bandung.

Dada Rosada sebagai Wali Kota Bandung menyayangkan sikap masyarakat yang tingkat konsumtifnya begitu tinggi. Tak heran jika sampah kian menumpuk dan pemerintah kota kesulitan untuk mencari TPA yang cukup luas untuk menampungnya. Sementara itu, warga Jalan Puter semakin gencar meminta TPS di wilayah mereka ditiadakan. Lalu dimana sampah mereka akan dibuang?

Satu kasus di atas cukup membuktikan peliknya permasalahan sampah di Kota Bandung saat ini. Walau pemerintah kota Bandung telah menemukan area TPA Sarimukti (sedang difungsikan), TPA Gunung Hejo (belum jelas kapan difungsikan) dan optimis akan mendapatkan TPA Jelekong, sampah akan terus diproduksi oleh masyarakat Bandung. Tempat pembuangan sementara yang tersebar di berbagai wilayah akan terus dipenuhi oleh sampah, mengingat kebutuhan hidup masyarakat yang terus berjalan dan ketersediaan barang yang memenuhinya. Tak peduli ada spanduk tertancap kokoh di setiap TPS yang bertuliskan 'Dilarang Buang Sampah Untuk Sementara', masyarakat dengan tingkat kesadaran lingkungan yang rendah tetap akan membuang sampah. Apa harus tetap mengharapkan pengelolaan sampah yang mengandalkan ketersediaan TPA? Sepenuhnya berharap pada pemerintah untuk serius menangani sampah yang telah kita buang tanpa ikut andil? Jelas peristiwa-peristiwa lalu, tidak hanya masalah sampah, cukup membuktikan bahwa pemerintah tidak pernah bisa tanggap.Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) dalam Dialog Kebijakan Sampah sebagai salah satu kegiatan dalam rangkaian acara Stok Buku Bandung: Pameran dan Festival Buku (05/06) di Gedung Indonesia Menggugat, memberikan sebuah solusi yang sebenarnya bukan wacana baru. Hanya saja solusi itu tak pernah terealisasi sebab pemerintah yang kurang mementingkan peranan lingkungan dalam pembangunan, dan kesadaran masyarakat yang begitu rendah. WALHI mengusulkan untuk melaksanakan reformasi mendasar dalam pengelolaan sampah: desentralisasi.

Pemerintah salah menempatkan tingkat urgensi permasalahan sampah yang selalu menganggap pencarian TPA adalah satu-satunya jalan dalam menangani masalah ini. WALHI lebih menitikberatkan tingkat urgensi pada reformasi pengelolaan sampah dengan perubahan paradigma sebagai satu awal yang tepat. Masyarakat mengganggap sampah adalah sampah yang seolah tak memiliki potensi harus segera dibuang, dan pandangan pemerintah pada pengelolaan sampah hanya menyangkut hal kumpulkan-angkut-buang. Paradigma ini mesti mengalami transformasi ke arah anggapan yang dapat mendukung jalannya pengelolaan sampah yang tidak memusat. Sampah ialah sesuatu yang sangat berpotensi secara ekonomi, sehingga tidak harus dijauhi dan segera untuk dienyahkan. Maka tiap rumah tangga atau komunitas dapat mengelola sampah tanpa perlu dikumpulkan dan diangkut terlebih dahulu. Pemerintah pun harus mendukung dalam hal kebijakan. Tidak hanya menghimbau, tetapi mengeluarkan hukum yang dapat mengatur pelaksanaan desentralisasi pengelolaan sampah. Peraturan inilah yang diharapkan untuk menekan tingkat konsumtif masyarakat.

Tentu proses desentralisasi ini pun mengalami hambatan. Tidak seluruh rumah tangga atau komunitas mengetahui cara mengelola sampah yang ramah lingkungan. Maka WALHI mengajak aktivis lingkungan, praktisi sampah, dan orang-orang yang lebih mengerti mengenai permasalahan sampah, untuk melakukan sosialisasi bertahap. Salah satu skenario yang ditawarkan ialah rumah tangga atau komunitas melakukan pemilahan sampah organis dan non-organis. Sampah organis dapat dihilangkan dengan melakukan pengomposan. Keberadaan TPS dimanfaatkan sebagai tempat untuk memisahkan sampah non-organis yang dapat didaur ulang atau tidak, dan TPA digunakan sebagai area untuk mengisolasi sampah yang berasal dari TPS atau melakukan insenerasi. WALHI dan juga kita tentunya berharap, semoga ini tidak lagi hanya sebuah wacana. (M Arfah D/http://celanarobek.blogspot.com/)

Tidak ada komentar: