Kamis, Agustus 23, 2007

FGII Imbau Pemerintah Tiadakan Ujian Nasional

Federasi Guru Independen Indonesia (FGII) mengimbau agar pemerintah meniadakan ujian nasional (UN) 2007. Peniadaan dilakukan untuk menghormati proses persidangan gugatan UN yang sedang bergulir di pengadilan negeri (PN) Jakarta Pusat. Sebagai gantinya, FGII menyarankan penyelenggaraan sistem ujian baru atau kembali ke sistem lama, ebtanas.

"Pemerintah harus menghentikan UN. Minimal, sampai putusan PN Jakarta Pusat dibacakan, Maret atau April," ujar Ketua Umum FGII, Suparman, di sela-sela diskusi terbatas yang digelar dalam rangka HUT ke-5 FGII di Gedung Indonesia Menggugat, Jln. Perintis Kemerdekaan, Bandung, Rabu (17/1).

Kalaupun harus ada ujian akhir, lanjutnya, bentuknya harus berbeda dengan UN. Penentuan kelulusan harus menyertakan nilai mata pelajaran lain yang dipelajari selama menuntut ilmu pada jenjang pendidikan yang digeluti.

Hal serupa juga diungkapkan oleh perwakilan siswa, orang tua, guru, kepala sekolah, dan aktivis pendidikan yang menghadiri acara tersebut. Mereka menilai, pelaksanaan UN merupakan bentuk ketidakadilan terhadap siswa dan pemerkosaan terhadap hak guru untuk menentukan kelulusan siswa.

"Usulan untuk menghapus UN 2007 ini memang belum sempat saya sampaikan. Kemungkinan besar besok atau minggu depan baru akan saya sampaikan kepada instansi terkait," ujarnya.

Jika imbauan tersebut tidak dihiraukan, Suparman berjanji, pihaknya akan mengerahkan massa. Pasalnya, menurut pandangan dia, hingga saat ini, selain jalur politis, pengerahan massa merupakan cara paling efektif dalam menyampaikan aspirasi kepada pemerintah.

"Selain itu, kami juga akan mencoba menempuh jalur politis, dengan mendesak Komisi X DPR RI supaya kembali memberikan perhatian lebih untuk masalah UN, seperti sebelumnya," katanya.

Kendur
Diakui Suparman, saat ini perhatian Komisi X DPR terhadap masalah UN sudah mulai kendur. Jika sebelumnya Komisi X sempat menolak UN dengan alasan bertentangan dengan UU Sistem Pendidikan Nasional, saat ini Komisi X justru terkesan mendukung kebijakan tersebut.

"Kami sangat menyesalkan sikap Komisi X DPR RI. Sikapnya jauh berubah. Saat ini mereka terkesan memberi dukungan penuh pada pelaksanaan UN. Ketika Mendiknas mengumumkan untuk memajukan jadwal UN, Komisi X sama sekali tidak memberikan reaksi," katanya.

Oleh karena itu, Suparman berjanji, pihaknya akan mulai menyadarkan Komisi X bahwa masalah UN merupakan hal penting bagi masyarakat banyak. "UN tidak lagi terkait dengan hak yuridis dan pedagogis guru, tapi telah meluas menjadi kepentingan masyarakat umum," tuturnya.

Pasalnya, dengan keberadaan UN yang menentukan kelulusan, bukan hanya guru tertekan karena harus berjuang menyesuaikan program pengajaran dengan waktu yang tersisa. Orang tua siswa juga tertekan secara psikologis karena terpanggil untuk ikut memikirkan cara untuk meluluskan anaknya.

Tidak adil
"Kami sebagai orang tua juga merasa resah dan tertekan secara psikologis. Pemberlakuan UN sungguh-sungguh merupakan bentuk ketidakadilan. Bagaimana mungkin pemerintah berpikiran untuk menyeragamkan hasil pendidikan di seluruh Indonesia dengan standar Jakarta? Tidak mungkin," kata seorang perwakilan orang tua siswa.

Hal tersebut diamini Imam Santoso, Kepala Sekolah SMA Puragabaya. "Pada dasarnya saya setuju jika UN dijadikan bahan evaluasi hasil pendidikan siswa. Namun, jika UN menjadi penentu kelulusan, sama saja dengan pembunuhan karena memberikan tekanan psikologis yang besar terhadap siswa," katanya.

Bahkan, menurut pengakuan Imam, tahun lalu, salah satu muridnya memilih mengakhiri hidup akibat gagal ujian. "Sebagai gurunya, kami merasa benar-benar bersalah," tambahnya.
Tekanan psikologis yang besar itu juga diakui Veronica Dwi Putri, siswi SMAN 12 Bandung. Kendati pemerintah memberikan alternatif mengikuti paket C jika tidak lulus UN, ia memandang hal itu bukan jalan keluar yang baik.

"Belajar itu proses. Tidak adil rasanya jika proses pembelajaran selama tiga tahun hanya ditentukan hasil ujian tiga mata pelajaran selama tiga hari. Itu tidak relevan!" tuturnya.
Oleh karena itu, ia berharap agar pemerintah kembali meninjau kebijakan UN, termasuk keputusan memajukan jadwalnya. (Pikiran Rakyat, 19 Januari 2007/A-150)

Tidak ada komentar: