Kamis, Desember 13, 2007

Peringatan Seabad Pers Kebangsaan (1907-2007)

Seabad Pers Kebangsaan (1907-2007)

Kebangsaan adalah sebuah proses panjang dan melelahkan ihwal perumusan apa yang disebut identitas untuk pemuliaan manusia. Karena itu kebangsaan kerap disandingkan dengan perjuangan mencipta kondisi tumbuhnya situasi kemanusiaan yang di kemudian hari memadat menjadi semangat baru bernegara, yakni nasionalisme.

Perjuangan itu mengambil banyak bentuk dan varian dalam skema perjuangan. Sebelum abad 20, skema perjuangan dominan dilakukan lewat cara-cara peperangan dan adu pasukan di medan laga. Namun dalam dasawarsa pertama abad 20, pola perjuangan memasuki titik perubahan yang cukup signifikan. Titik perubahan itu dipicu oleh sebuah kesadaran baru tentang jalan cetak atau jalan pers. Sekaligus jalan pers ini menjadi semacam pembeda dengan jalan nasionalisme yang ditempuh India yang bertumpu pada hirarki kasta atau nasionalisme Rusia yang memperjuangkan perbenturan kelas dan melahirkan komunisme atau Inggris yang lahir dari gilda dan pasar para borjuis.

Tesis bahwa bangunan kebangsaan kita dididirkan dari tradisi pers bisa dilihat dari fakta sejarah bahwa nyaris seluruh tokoh kunci pergerakan kebangsaan dan nasionalisme adalah tokoh pers. Dan posisi mereka dalam struktur pers umumnya pemimpin redaksi (hoofdredakteur) atau paling rendah adalah redaktur. HOS Tjokroaminoto yang kita kenal sebagai salah satu “guru pergerakan” adalah pemimpin redaksi Oetoesan Hindia dan Sinar Djawa. “Tiga Serangkai” Douwes Dekker, Ki Hajar Dewantara, dan Dr. Tjipto Mangoenkoesoemo menukangi De Express. Semaoen diusianya 18 tahun sudah memimpin Sinar Djawa yang kemudian berubah menjadi Sinar Hindia. Maridjan Kartosoewirjo menjadi reporter dan redaktur iklan di Fadjar Asia. Sebelum berkonsentrasi mengurus dasar pendidikan, Ki Hadjar Dewantara adalah pemimpin redaksi Persatoean Hindia dan bahu-membahu bersuara dalam majalah Pemimpin. Adapun Soekarno menjadi pemimpin redaksi Persatoean Indonesia dan Fikiran Ra’jat. Setelah pulang dari Belanda dan menjadi pemimpin redaksi majalah Indonesia Merdeka dalam Perhimpunan Indonesia (PI), Mohammad Hatta dan dibantu Sjahrir menakhodai Daulat Ra’jat. Bahkan Amir Sjarifuddin dalam Partindo menjadi pemimpin redaksi Banteng, serta masih banyak lagi.

Walau tingkat pendidikan mayoritas rakyat masih rendah, para tokoh pergerakan itu sadar bahwa lembar pers bisa dijadikan medium mengampanyekan ide-ide nasionalisme selain mimbar-mimbar pertemuan. Dengan pers pula pesan dan gagasan memiliki tingkat aksesibilitas dengan cakupan luas, terutama di kancah internasional. Selain itu, dan ini menjadi ciri dari masa percobaan ini, bahasa Indonesia memungkinkan dibentuk dan diberi rumah baru.

Yang menjadi soal kemudian kapan permulaan pertama yang dengan kesadaran penuh menjadikan pers sebagai alat pergerakan dan menjadi kuda tunggangan pembibitan semangat membuat rumah bagi bahasa dan usaha menyatukan kolektivitas tanah dan air dalam semesta kesadaran berbangsa. Peritesis itu kemudian mempertemukan kita dengan sepotong nama Tirto Adhi Soerjo dan Medan Prijaji yang terbit pertama kali di Bandung pada 1907. Tahun 2007 adalah tepat seabad suratkabar mingguan dengan motto di kepala korannya: ja’ni swara bagai sekalian Radja2 Bangsawan Asali dan fikiran dan saudagar2 Anaknegri, lid2 Gomeente dan Gewestelijke Raden dan saudagar bangsa jang terprentah lainnja.”

Menjadikan Medan Prijaji sebagai patok Seabad Pers Kebangsaan dialasdasari pertimbangan sebagai berikut: Pertama, bahwa Medan Prijaji berfungsi sebagai pers, baik tugasnya sebagai jurnalistik yang memberi kabar sekaligus mengadvokasi publiknya sendiri dari kesewenang-wenangan kekuasaan maupun kemauan untuk membangun perusahaan pers yang mandiri dan otonom. Terkait dengan tugasnya yang pertama ini, Tirto mesti berhadapan muka dengan kekuasaan kolonial yang bengis. Sekaligus Medan Prijaji dengan keberbedaannya itu berkesempatan gentayangan dan berkaok-kaok di daratan Eropa. Karena dianggap sebagai jurnalis paling berbahaya dan menunggang kuda petarung yang tak suka basa-basi seperti Medan Prijaji, Tirto kemudian menjadi incaran.

Kedua, visi Medan Prijaji yang tereksplisitkan dalam jargonnya yang beridentitaskan kebangsaan itu memberi implikasi pada keindonesiaan hari ini setelah Medan Prijaji tak ada. Kebangsaan yang dimaksudkan di sini adalah kebangsaan yang diikat oleh dialektika antara kolektivitas tanah air dan bahasa. Dari hubungan dialektika inilah muncul bangsa. Ketiga, konsepsi kebangsaan itu dibangun dengan cara sistematis. Selain jalan pers dengan mendirikan perusahaan yang menopang jalannya pers, Tirto juga turut memulai pergerakan lewat jalan berorganisasi. Titik tuju dua tradisi yang disatukan itu adalah penyemaian kesadaran berbangsa. Dari tangan Tirto lah muncul embrio organisasi yang bercorak seperti Boedi Oetomo, yakni ketika pada 1906 atau dua tahun sebelum Boedi Oetomo, ia mendirikan Sarekat Prijaji. Dan Tirto pulalah rancangan pertama Sarekat Islam yang melahirkan banyak sekali tokoh pergerakan, baik kiri, tengah, maupun kanan, saat dia mengonsep Sarekat Dagang Islamijah di Bogor dan kemudian dikembangkan Samanhudi di Surakarta. Tirtolah yang menyatukan tradisi pergerakan dan tradisi pers untuk satu tujuan, yakni kesadaran berbangsa.

Keempat, karena dilakukan secara sistematis itulah maka posisi dan tindakan Tirto bukan sekadar sebagai historical piece atau irisan sejarah yang biasa, tapi membuat momentum sejarah di mana sejarah menjadi patok untuk aksi sejarah ketika semua peristiwa berkumpul pada saat itu dan orang menilai peristiwa itu sebelum dan sesudah peristiwa itu berlangsung. Medan Prijaji memberi dampak besar dan menginspirasikan gerak selanjutnya. Bahwa sudah ada yang terbit duluan, itu tidak jadi soal. Namun kita berbicara dampak bagi pembentukan mandat kebangsaan. Pada saat Medan Prijaji itulah momentum sejarah dipetakan dan perang terbuka di media massa diserukan. Bertitik tolak dari situ pulalah gerakan-gerakan kebangsaan itu mulai mengkristal, membangun gerakan kebudayaan dengan kantong-kantong organisasi modern, memaksimalkan pers sebagai alat perjuangan.

Dan kelima, Pramoedya Ananta Toer adalah orang yang dengan jernih melihat kehidupan semasa Tirto dan Medan Prijaji. Dari usaha Pram itulah pribadi ini diketahui dunia internasional dan ribuan lapisan masyarakat kita hari ini. Karena itu mengajukan namanya karena pribadi ini yang paling mudah diterima masyarakat.

Kelima alasan itulah kemudian kami bersikukuh bahwa patok pers kebangsaan adalah Medan Prijaji dan Tirto Adhi Surjo menjadi pemancang patok itu. Dengan memancangkan patok ini paling tidak kita menarik dua hal: (1) memiliki protagonis atau tokoh idola yang diteladani baik di dunia pers maupun dalam pergerakan; (2) kita bisa menafsirkan sejarah Indonesia dalam perspektif yang baru. Dengan mengambil Tirto Adhi Soerjo sebagai model, maka polemik bahwa Indonesia dibangun oleh kalangan Jawa atau kalangan Islam itu bisa diselesaikan. Dan itu menjadi sumbangan berarti bagi pembelahan bangsa yang panjang ini, sebagaimana kita saksikan di sidang-sidang konstituante bagaimana pembelahan negera Islam dan negara nasionalis terjadi. Kalis melihat soal itu, kita pun terdorong ke sistem Demokrasi Terpimpin yang berakhir tragis pada peristiwa G 30 S.

Orang selalu mengatakan bahwa gerakan yang pertama kali berlingkup nasional itu adalah Sarekat Islam. Yang lain mengatakan bahwa yang pertama adalah Boedi Oetomo yang berarti Jawa. Orang tak sadar bahwa kedua gerakan yang dipertentangkan itu lahir dan bermuara pada sumur yang sama, yakni Tirto Adhi Soerjo. Jadi tujuan Tirto/Medan Prijaji adalah memerdekakan. Dia dengan jelas memberitahu konsepsi kebangsaan itu tidak dibangun berdasarkan atas suku dan agama, tapi gerakan intelektual, kesadaran bahasa, dan keyakinan bertanah air. Jadi jika dicari semua gerakan itu, terutama gerakan nasionalis dan gerakan Islam, bersumbu pada sumur yang sama.

* * *

Manggadua, 7 Desember 1918. Sebuah iringan kecil—sangat kecil—mengantarkan jenazahnya ke peristirahatan terakhir. Tak ada pidato-pidato sambutan. Tak ada pewartaan atas jasa-jasa dan amalan dalam hidupnya yang kalis bersabung maut dan berakhir sunyi senyap. Sebab selepas itu orang pun meninggalkannya, sejarah mengabaikannya, dan namanya nyaris tercoret dari sejarah pers dan pergerakan kebangsaan. Cuma ada dua potong berita nekrologi yang ditulis Marco Kartodikromo yang mengabarkan kepergiannya dimuat di Sinar Hindia (12 Desember 1918) dan Djawi Hisworo (13 Desember 1918).

Hari ini, 7 Desember 2007, tradisi pers Indonesia menapaktilasi perjuangan Tirto Adhi Soerjo selama seabad dan menarik kehadiran Medan Prijaji sebagai patok dimulainya sejarah pers kebangsaan. Dan sekaligus hari ini ditandai sebagai tonggak Hari Pers Indonesia, tepat di hari ketika Tirto wafat di mana dalam sepanjang hidupnya sudah meneguhkan tugas dan posisi pers: bagaimana pers mesti berhadapan dengan kekuasaan, bagaimana pers mesti membangun perniagaan untuk bisa bertahan dan hidup sehat, serta bagaimana mestinya keberpihakan pers terhadap masyarakat lemah dalam membangun kritisisme dan sekaligus mendorong keswadayaannya. (Taufik Rahzen, Kurator)

Peringatan Seabad Pers Kebangsaan di Gedung Indonesia Menggugat Bandung

Setelah adzan Isya dikumandangkan, sebagian tamu undangan melaksanakan shalatnya, kemudian duduk kembali di Aula Utama Gedung Indonesia Menggugat, Bandung, malam itu (7/12), karena pembukaan peringatan Seabad Pers Kebangsaan (1907 - 2007) akan dimulai setelah dilaksanakan Konferensi Pers pada sore harinya.

Taufik Rahzen selaku kurator peringatan acara tersebut memaparkan kembali betapa pentingnya momentum sejarah untuk dilihat sebagai ingatan kolektif bangsa Indonesia pada pers Indonesia, yaitu melalui Tirto Adhi Soerjo dengan Medan Prijaji (1907) yang dipimpinnya. “Saya tidak semata-mata menyatakan hari ini sebagai Hari Pers Nasional, tapi sebagai Hari Pers Indonesia,” kata Taufik Rahzen.

Peringatan Seabad Pers Kebangsaan (1907-2007) pada Jumat, 7 Desember 2007 malam dihadiri oleh buyut Tirto Adhi Soerjo, yaitu Dewi Yull. “Saya kaget dengan acara Haul buyut saya (Tirto Adhi Soerjo – red.) Karena baru diberitahu 2 hari sebelumnya, dan saya hadir di sini menerima hadiah ini (frontpage Medan Prijaji – red.). Sekaligus saya mewarisi semangat pemberontak buyut saya,” ujar Dewi Yull dalam pidatonya seusai menerima hadiah dari Kurator Seabad Pers Kebangsaan, Taufik Rahzen.

Medan Prijaji menjadi tonggak kebangkitan pers Indonesia dan diakhiri oleh penerbitan Harian Jurnal Nasional. Agus Sopian, Redaktur Jurnal Nasional, juga menerima hadiah kenang-kenangan dari Taufik Rahzen mewakili Pimpinan Umum Harian Jurnal Nasional yang benghalangan hadir pada waktunya. Acara seremonial tersebut sekaligus membuka pameran ‘Sampul Pers Indonesia’ yang dimulai pada tanggal 7 Desember 2007 – 6 Februari 2008, pukul 10.00 – 18.00 wib (kecuali hari Minggu) di Gedung Indonesia Menggugat; Jalan Perintis Kemerdekaan 5, Bandung.

Dialog Seabad Pers Kebangsaan (1907-2007) akan diselenggarakan bersamaan dengan “Anugerah Tirto Adhi Surjo” dan Peluncuran buku “Seratus Tokoh Pers Indonesia” pada Sabtu, 22 Desember 2007 pukul 10.00 – selesai, di Gedung Indonesia Menggugat, Bandung. (Argus Firmansah/Kontributor Jurnal Nasional)

Sabtu, September 15, 2007

Gedung Sate

Oleh Taufik Rahzen

27 Juli 1920. Hari ini, 87 tahun silam, dilakukan peletakan batu pertama proyek pembangunan Gedung Sate di Bandung. Ketika selesai dibangun empat tahun kemudian, gedung tersebut segera menjadi salah satu bangunan termegah di Hindia Belanda dan hingga sekarang menjadi landmark paling menonjol dari kota Bandung.
Peletakan batu pertama pembangunan gedung dilakukan oleh Nona Johanna Catherina Coops, putri sulung walikota Bandung B. Coops, dan Nona Petronella Roelofsen, mewakili Gubernur Jenderal Batavia.

Bangunan gedung ini dirancang arsitek Ir J. Berger dari Landsgeboundienst, dinas pembangunan gedung-gedung pemerintah Negeri Belanda. Dibutuhkan tenaga hingga 2.000 orang pekerja. Di antara ribuan pekerja itu, terdapat lebih kurang 150 Cina Konghu atau Kanton, tukang kayu dan pemahat batu yang trampil di negerinya.
Arsitek Belanda, Dr. Hendrik Petrus Berlage, menyebut bahwa Gedung Sate beserta rancangan kompleks Pusat Perkantoran Instansi Pemerintahan Sipil Hindia Belanda di Bandung merupakan sebuah karya besar. Sementara Coor Passchier dan Jan Wittenberg, dua arsitek Belanda yang menginventarisir bangunan kolonial di Bandung, menyebut Gedung Sate sebagai sebagai bangunan monumental yang anggun mempesona, serta memiliki gaya arsitektur yang unik, dan gigantik.

Gedung Sate sendiri sebenarnya hanya bagian kecil atau sekira 5% dari "Kompleks Pusat Perkantoran Insatansi Pemerintah Sipil" Hindia Belanda yang menempati lahan Bandung Utara seluas 27.000 meter persegi.
Oleh penduduk tempo dulu "Gedong Sate" dinamai "Gedong Bebe" yang kemudian lebih populer dengan "Gedung Sate" karena di puncak menara gedung tersebut terdapat "tusuk sate" dengan 6 buah ornamen berbentuk jambu air.

Apa yang sekarang dikenal sebagai Gedung Sate pada mulanya diniatkan sebagai bangunan Pusat Pemerintahan atau Gouvernments Bedrijven (GB) yang bersumbu lurus ke tengah-tengah Gunung Tangkuban Perahu.

Disebut Gouvernments Bedrijven karena gedung tersebut pada mulanya diniatkan sebagai pusat pemerintahan kolonial Hindia Belanda sekaligus tempat berkantor Gubernur Jenderal Hindia Belanda. Pembangunan gedung tersebut dimungkinkan setelah pemerintah Hindia Belanda mengambil keputusan untuk memindahkan pusat pemerintahan Hindia Belanda dari Batavia ke Bandung.

Keputusan untuk menjadikan Bandung sebagai ibukota pemerintahan Hindia Belanda diambil pada 1916. Pilihan itu diambil oleh Koninkelijk der Nederlanden (Negeri Belanda) yang telah melakukan berbagai penelitian di daerah-daerah lain, terutama di pulau Jawa.
Penelitian itu dipicu oleh hasil riset yang dilakukan HF Tillema, seorang ahli kesehatan lingkungan, yang menemukan bahwa bahwa kota-kota di pantai utara pulau Jawa keadaannya kurang sehat. Dipenuhi oleh rawa-rawa yang rentan penyakit. Hawanya panas dan lembab, akibatnya orang susah bernafas, banyak berkeringat, membuat badan cepat lelah.
Pilihan pun jatuh ke Bandung yang secara geografis berada di daerah pegunungan dengan udara yang sejuk dan lebih segar. Keputusan itu diambil pada masa pemerintahan Gubernur Jenderal van Limburg Stirum.

Di tempat ini pulalah, pada bulan-bulan pertama kemerdekaan, terjadi pertempuran hebat antara kaum Republiken yang ingin memertahankan gedung ini dari serbuan tentara Sekutu yang diperkuat oleh tentara Gurkha. Tak cuma itu Gedung Sate ini pernah juga dijadikan pusat pemerintahan Negara Pasundan pada masa pemerintahan RIS.

Gedung Sate tidak hanya menjadi bukti otentik dari riwayat kota Bandung dalam percaturan kehidupan kolonial. Gedung sate pernah pula menjadi lokus di mana kemerdekaan dirayakan dengan patriotik sekaligus di sana pula pernah bercokol satu pemerintahan yang menjadi pengejawantahan gagasan federalisme di Indonesia.Jika hari ini Gedung Sate tak hanya menjadi kantor Gubernur Jawa Barat, tetapi juga menjadi landmark kota Bandung, Gedung Sate menerima status istimewa yang memang telah menjadi haknya.

Jumat, Agustus 31, 2007

SOKOLA RIMBA Butet Manurung

Inspirasi dari Rimba Hingga Pendidikan Alternatif Butet Manurung

Pendidikan nasional diindikasikan tidak dapat menyentuh setiap anak Indonesia. persoalan kurikulum hingga sistem pendidikan yang hanya mencetak tenaga kerja menjadi persoalan bagi masyarakat. Karena lapangan pekerjaan yang tersedia tidak dapat diakses oleh masyarakat yang telah mengenyam pendidikan dasar, bahakan perguruan tinggi.

Ini menjadi persoalan. Namun demikian pemerintah tidak dapat disalahkan juga, karena pemerintah melalui Mendiknas sudah berupaya keras meningkatkan pendidikan nasional, termasuk mengupayakan anggaran pendidikan 20%, dan melaksanakan butir Undang-Undang Dasar 1945 soal pendidikan nasional. Persoalan anggaran pendidikan 20% itu sudah menjadi tanggungjawab pemerintah daerah masing-masing.
Apa yang dilakukan oleh Butet Manurung (35 tahun) dengan Sokola Rimba di Bukit Tujuh Belas, Jambi, rupanya menjadi inspirasi untuk sebuah solusi memajukan pendidikan nasional di daerah terpencil. Hal ini dikemukakan pembahas yaitu oleh Aat Suratin, Budi Radjab, dan Irwanto dalam Diskusi Terbuka yang bertajuk “Adventure Education Experience” di Gedung Indonesia Menggugat, Bandung, Kamis kemarin (30/8). Diskusi tersebut juga membahas buku Butet Manurung yang berjudul Sokola Rimba.
Irwanto, aktivis lingkungan dari komunitas Wanadri, mengemukakan bahwa buku yang ditulis Butet Manurung dalam Sokola Rimba merupakan inskripsi kejujurannya dalam upaya Butet Manurung menyebarkan ilmu pengetahuannya kepada anak-anak di dalam rimba. Buku itu sangat sederhana dan jujur dalam mengungkapkan masalah pendidikan dan cara mengatasi kesenjangan pengetahuan di masyarakat rimba. Bahasanya mudah dicerna karena apa yang ditulisnya dalam buku itu adalah pengalaman pribadi, dan bisa jadi lebih arif daripada orang kota dalam mendidik anak-anak.

Aat Suratin, dari sudut pandang budaya, memandang apa yang dilakukan oleh Butet Manurung adalah sebuah kerja budaya, yaitu “Pendidikan yang menyenangkan. Metode pendidikan yang dilakukan oleh Butet selalu mencari cara-cara baru, inovatif, sampai menemukan cara yang tepat. Dan itu membuat anak-anak rimba senang,” kata Aat Suratin. “Orang lokal mengejar mimpi dan mewujudkan mimpi itu, sedangkan orang kota tidak demikian,” tutur Aat Suratin dalam membongkar prinsip budaya masyarakat di Indonesia. Kerja budaya menurut Aat Suratin terbagi ke dalam beberapa prinsip dasar, antara lain: pendidikan harus membumi, menguntungkan, diorganisasi secara lokal, menumbuhkan kesadaran akan perubahan kebudayaan, mampu memberi keyakinan siapa dirinya dana mau jadi apa kelak. “Prinsip-prinsip itu bukan untuk sekolah rimba seperti yang dilakukan oleh Butet, tapi untuk pendidikan di kota. Akan tetapi prinsip-prinsip itulah yang diterapkan ke dalam sekolah rimba Butet dengan anak-anak adat setempat,” tambah Aat Suratin. Butet Manurung juga dipandang menerapkan prinsip leadership dengan sekolah rimbanya oleh Aat Suratin.

Forum diskusi terbuka itu bukan saja menjadi inspirasi bagi para pendidik di Indonesia. Juga menjadi masukan bagi para pecinta alam di tanah air. Bahwa menjadi pecinta alam tidak hanya hiking, camping, atau memenuhi ambisi pribadi untuk mencapai puncak ketinggian suatu gunung yang ada di Indonesia. Tapi bagaimana pecinta alam berinteraksi dengan masyarakat di sana, sehingga menemukan cara pandang baru seperti yang sudah dilakukan Butet Manurung dengan pendidikan alternatifnya.

Lalu bagaimana dengan pecinta alam lainnya, yang sering menjelajah pedalaman Indonesia dengan tujuan masing-masing itu? Apakah pernah terbersit dalam benak mereka untuk menyatu dengan masyarakat adat selain dengan alam yang dikunjunginya? Pertanyaan ini pun muncul setelah menelusur apa yang dilakukan Butet Manurung dengan tujuan sosialnya itu. Dengan program sederhana yang berbasis pendidikan komunitas adat, banyak hal yang dapat diperoleh selain sebuah kebanggaan karena sudah mampu dan berani menaklukan alam Indonesia.

Awalnya, Butet Manurung datang ke pedalaman Indonesia sebagai perempuan yang mencintai alam Indonesia yang memiliki kekayaan alamnya. Namun, ketika dia berinteraksi dengan masyarakat adat yang hidup di pedalaman itu muncul masalah bahasa sebagai alat komunikasi dasar. Sebagai perempuan sarjana bahasa Indonesia di UNPAD, dia melihat motivasi lain yang tidak hanya sekedar camping atau menjelajah hutan. Tapi bagaimana membuat hidup bermanfaat bagi orang lain. “Hidup bagi saya, bagaimana hidup saya bisa bermanfaat bagi orang lain dengan hobi kita. Jadi hobi yang bermanfaat bagi orang lain,” katanya. Melalui hobi menjelajah alam itulah Butet Manurung menerapkan sistem pendidikan dasar dengan metode Silabel. Metode ini adalah sebuah cara yang diolah oleh Butet untuk mengajarkan anak-anak rimba mengenal bahasa Indonesia selama dia berada di pedalaman Bukit Tujuh Belas, Jambi, Sumatera Timur. Metode ajar ini merupakan ramuan Butet dari pengetahuan antropologi dan bahasa yang pernah diperolehnya di universitas. Metode Silabel adalah pengajaran bahasa Indonesia yang terbagi dalam 16 ejaan, yaitu pembagian konsonan-vokal berdasarkan bunyi.
Butet juga mengatakan bahwa anak-anak dan masyarakat adat di pedalaman merasa tertekan oleh orang luar. Tekanan itu berupa justifikasi bahwa mereka itu primitif, bodoh, apdahal mereka merasa nyaman hidup seperti itu. Banyak orang luar yang melakukan penipuan kepada mereka, juga pencurian kekayaan alam atas nama organisasi yang tidak mereka mengerti.
Setelah mendapat pendidikan dasar dari Butet masyarakat adat yang menjadi komunitas didiknya mulai memahami dan mengetahui bagaimana berkomunikasi dengan orang luar yang datang ke tempat mereka. Mereka juga sudah bisa menghitung dan membaca, termasuk tahu kepada pihak mana untuk mengadukan perilaku individu atau organisasi yang melakukan pembalakan liar, pencurian kayu, dan tindakan kriminal lainnya. Dengan demikian, pendidikan yang dilakukan Butet di komunitas adat telah membuka akses pada pengetahuan dan peradaban, meskipun kesenjangan antara komunitas adat dan masyarakat luar masih ada.
Hal itu dicapai oleh Butet selama empat tahun berproses bersama masyarakat adat. Dari proses itu, bukan hanya masyarakat adat saja yang belajar, tapi Butet juga. Dalam forum itu Butet mengatakan setelah belajar dan hidup bersama masyarakat adat, cara pandangnya berubah. Yaitu ketika suatu saat ada beruang dengan anaknya datang ke tempat Butet dana anak-anak belajar. Butet ketika itu naik ke pohon. Sementara anak-anak rimba yang sudah berumur 12 tahun lebih mengusur induk beruang, dan menusuk-nusuk anak beruang dengan tombaknya secara beramai-ramai. Setelah peristiwa itu Butet menyatakan ketidaksetujuannya. Namun mereka mengatakan bahwa apa yang ada di depan mereka adalah rezeki dari Dewa mereka. “Dari situ saya jadi berpikir, maka kita harus berpikir dengan cara orang setempat,” ujar Butet dalam penjelasannya.
Butet Manurung kecil adalah salah satu “anak pingit”, karena kemana pun dia pergi selalu diantar oleh supir. Masa kecil Butet pernah hidup di Belanda selama empat setengah tahun di sana. Masa kecil Butet hanya mengenal Jakarta dan Belanda. Selain itu tidak ada. Butet kecil sangat menyenangi binatang kecil seperti semut, ulet berbulu, dan lain-lain.
Setelah masuk usia muda, Butet kuliah di UNPAD dan mengambil dua bidang studi dengan tahun ajaran yang berbeda, yaitu antropologi dan bahasa. Selam kuliah, Butet bekerja sambilan dengan mengajar Matematika dan Organ. Hasilnya ditabungnya agar setiap bulan bisa pergi ke gunung, misalnya untuk camping. Penjelajahan alam memang selalu diidam-idamkannya sejak Butet masih remaja, karena sejak kecil Butet menjadi ‘anak pingit’ oleh ayahnya. Maka pada usia muda dia mampu mewujudkan hobinya itu untuk menjadi pecinta alam.
Gedung Indonesia Menggugat bersama TIM SOKOLA, dan EIGER sebagai sponsor, Insist Press, melaksanakan kegiatan peluncuran buku SOKOLA RIMBA di Bandung untuk kali pertama. Kehadiran Butet Manurung dengan penjelasannya yang rinci mengungkap bagaimana sebuah pendidikan dasar bisa dilaksanakan oleh seorang perempuan Indonesia seperti Butet Manurung di rimba raya Indonesia.
Apa yang dilakukan Butet Manurung dengan sekolah rimbanya itu tentu saja menjadi masukan yang penting dan berarti dalam upaya memajukan pendidikan nasional. Pendidikan nasional yang tidak hanya dilakukan di wilayah perkotaan dengan segala bentuk komersialisasinya, tetapi bentuk pendidikan yang efektif dan benar-benar dirasakan positif oleh masyarakat. (Argus Firmansah/wartawan lepas tinggal di Bandung).
Baca selengkapnya di http://argusbandung.blogspot.com/

Kamis, Agustus 23, 2007

Wapres Ingin Gaji Guru Masuk Anggaran 20%

Wakil Presiden (Wapres) Jusuf Kalla menilai Undang-Undang (UU) No 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) perlu direvisi. Alasannya, agar gaji guru bisa masuk dalam anggaran pendidikan 20% dari Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN). ”Salah satu poin dalam mencerdaskan kehidupan bangsa tentunya termasuk guru,murid, proses, sekolah. Karena itu, memang seharusnya gaji guru merupakan bagian dari anggaran pendidikan,” papar Wapres seusai menerima kunjungan Perdana Menteri (PM) Jepang Shinzo Abe di Kantor Wapres,Jakarta,kemarin.

UU No 20/2003 Pasal 49 menyebutkan, dana pendidikan selain gaji pendidik dan biaya pendidikan kedinasan dialokasikan minimal 20% dari APBN pada sektor pendidikan dan minimal 20% dari anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD). Akibatnya, gaji guru tidak masuk dalam anggaran pendidikan sebesar 20%. Namun, Kalla mengingatkan, pendidikan tidak hanya mempermasalahkan anggaran.

Kualitas guru serta proses belajar mengajar juga perlu diperhatikan.Wapres mencontohkan Departemen Pekerjaan Umum (PU) dan Departemen perhubungan (Dephub) yang mengukur segala sesuatu dari segi materi. ”Itu kesalahan.Anggaran 20% penting,tapi bukan anggaran yang menentukan kualitas,” tandas Kalla.

Anggaran pendidikan 20% yang belum terpenuhi pada Rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2008 juga dimaklumi Wapres. Di samping harus memotong anggaran departemen lain, negara juga masih memiliki beban lain seperti membayar hutang.

Dalam kesempatan terpisah, Wapres menilai Gedung Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) yang berlokasi di Jalan Jenderal Sudirman, Jakarta, cukup mewah. Karena itu, anggaran pendidikan yang sudah naik, jelas Kalla,tidak boleh digunakan untuk membangun kantor lagi.

”Diknas juga kantornya mewah seperti mal. Sekarang tidak boleh lagi.Saya bilang,kasih ke sekolah-sekolah anggaran yang sudah naik dua kali lipat itu,” ujar Kalla. Ketua Kaukus Pendidikan DPR Slamet Effendi Yusuf menyatakan tidak setuju dengan gagasan memasukkan gaji guru dalam anggaran pendidikan minimal 20%. ”Gaji untuk guru dan dosen itu hanya sekitar 3%. Jadi, nggak usah dimasukkan ke dalam anggaran pendidikan,” katanya kepada SINDO tadi malam.

Slamet menjelaskan, selama ini anggaran 20% hanya menjadi wacana yang belum pernah terealisasi.Karena itu, dia tidak bisa membayangkan masa depan pendidikan Indonesia kalau gaji guru dan dosen menggerogoti anggaran pendidikan. Anggota Fraksi Partai Golkar DPR itu menegaskan, kalau kebijakan anggaran pendidikan 20% tidak direalisasikan,maka selamanya bangsa Indonesia berkubang dalam kebodohan.Pihaknya menilai Pemerintah Indonesia terlalu keras kepala dengan membiarkan dunia pendidikan terus merana.

”Coba lihat Malaysia, negara itu memprioritaskan pendidikan betul. Manfaatnya, kemampuan SDM di negeri itu patut diacungi jempol.Tidak seperti negara kita yang lebih banyak mengirim TKI (tenaga kerja Indonesia) ke luar negeri ketimbang mengirim tenaga pendidik,” tandasnya. Sementara itu, Wakil Ketua Komisi X DPR Abdul Hakam berpendapat, harus dilakukan revisi UU Sisdiknas untuk bisa menerima gagasan Wapres Jusuf Kalla. Sebab dalam UU Sisdiknas yang berlaku saat ini ditegaskan bahwa anggaran pendidikan 20% tidak termasuk gaji guru dan dosen.

”Anggaran sebesar 20% murni untuk perbaikan mutu pendidikan. Maka penggunaannya hanya diperuntukkan buat perbaikan dan penambahan sarana pendidikan,” kata dia kepada SINDO di Jakarta kemarin. Hakam menegaskan,saat membuat UU Sisidiknas dulu, pertimbangan DPR tidak memasukkan gaji guru dan dosen dalam anggaran pendidikan karena mereka sudah menjadi pegawai daerah dan gajinya dibayar pemerintah daerah (pemda) setempat.

Meski demikian, gaji tersebut berasal dari APBN melalui dana alokasi umum (DAU). Karena itu, tidak ada alasan bagi pemerintah untuk memasukkan gaji guru dan dosen ke dalam anggaran pendidikan. ”Kalaupun mau dipaksakan, harus mengajukan usul perubahan UU Sisdiknas dulu.Tapi sepertinya usulan tersebut sulit terealisasi,” papar dia. (www.seputarindonesia.co.id/Maya Sofia/Ahmad Baidowi)

Dialog Re-Interpretasi Pancasila Bersama Hidayat Nur Wahid

Gedung Ex-Landraad di Bandung dikenal masyarakat Indonesia karena di gedung bersejarah itulah Soekarno membacakan pleidoi “Indonesia Menggugat” di hadapan hakim-hakim Belanda pada tanggal 18 Agustus – 22 Desember tahun 1930.


Gedung bersejarah itu kini difungsikan menjadi ruang publik bagi masyarakat Indonesia yang peresmiannya dihadiri oleh Sekretaris Daerah (Sertda) Lex Laksamana, serta dihadiri Ketua MPR RI, Hidayat Nur Wahid, Dedem Ruchia Wakil Ketua Yayasan Siliwangi, dan budayawan Taufik Rahzen, serta tokoh-tokoh Bandung seperti Bapak Solihin GP pada hari Senin (18/6) kemarin Gedung Indonesia Menggugat di Jalan Perintis Kemerdekaan No 5 Bandung.


Peresmian Gedung Indonesia Menggugat oleh perwakilan Gubernur Jawa Barat, Lex Laksamana siang itu dibuka oleh Memet Hamdan sebagai Ketua Pengelola Gedung Indonesia Menggugat. Dalam pidatonya, ia menyampaikan bahwa pengelola Gedung Indonesia Menggugat beraktivitas atas dasar semangat penyebaran hakikat kemanusiaan dimana pleidoi Indonesia Menggugat menjadi tonggak perjuangan hakikat kemanusiaan dan martabat bangsa Indonesia.


Di dalam gedung ini terdapat tiga bidang konsepsi yang melandasi langkah-langkah yang akan dituangkan ke dalam bentuk program kegiatan. Pertama adalah Indonesia Muda, konsep ini menjadi landasan pikiran komunitas Indonesia Menggugat dalam melakukan advokasi kegiatan orang-orang yang berpikir dan berpandangan muda. Kedua, Indonesia Merdeka, konsep ini merupakan kajian sejarah nasional bangsa yang kemudian menjadi bahan renungan untuk melakukan sesuatu untuk bangsa Indonesia. Ketiga, Indonesia Menggugat, bahwa Indonesia Menggugat merupakan wadah untuk mengaktualisasikan diri Indonesia Muda dalam melaksanakan kajian dan gerakan kemanusiaan yang berwawasan kebangsaan ini.


Dalam kesempatan itu juga dilaksanakan peresmian sebuah Perpustakaan Mashudi yang berada di dalam Gedung Indonesia Menggugat, secara simbolik ditandai dengan penyerahan sebuah buku biografi HC Mashudi (alm). Acara dilanjutkan dengan pereglaran sebuah mololog yang dibawakan oleh Wawan Sofwan dengan tema kelahiran Pancasila. Wawan Sofwan dalam monolog pendek selama 10 menit itu menguti pidato Soekarno pada tanggal 1 Juni 1945, yang kemudian diperingati oleh bangsa Indonesia sebagai Hari Lahir Pancasila. “sekarang saya tidak mendengar ada kesejahteraan di tanah Indonesia ini...seharusnya ada politik ekonomi yang mensejahterakan sosial rakyat Indonesia...kesejahteraan bersama yang bersama-sama,” pekik Wawan Sofwan di atas podium Gedung Indonesia Menggugat.


Dalam acara Dialog Terbuka yang bertajuk “Re-Interpretasi Pancasila” hadir sebagai keynote speaker yaitu Ketua MPR RI, Hidayat Nur Wahid, dan Taufik Rahzen, budayawan, dengan moderator Aat Soeratin. Hidayat Nur Wahid mengatakan, “kami adalah generasi yang lahir setelah konstituante dibubarkan, kami tidak memiliki ikatan emosional dengan proses penyusunan Pancasila, karena saat itu kami belum,” ujar Hidayat Nur Wahid dalam pemaparan awalnya sebagai keynote speaker dialog tersebut.


Lebih lanjut Hidayat menganalisa konteks Pancasila sekarang sebagai dasar bangsa dan negara Indonesia, bahwa selayaknya Pancasila menjadi dasar kehidupan masyarakat Indonesia. Karena dengan berlandaskan Pancasila kehidupan masyarakat yang adil dan sejahtera dapat tercipta. Di mana tidak akan ada lagi korupsi di negara ini. Bukankah tidak ada agama atau Tuhan apapun yang mewajibkan umatnya untuk korupsi. Masyarakat Indonesia hendaknya melepaskan diri dari stigmatisasi yang dilakukan Orde Baru. Mereka yang menganggap orang lain tidak pancasilais adalah bagian dari rezim Orde Baru. Justru merekalah yang dalam pelaksanaannya melanggar setiap asas yang ada dalam sila-sila dalam Pancasila.

Era reformasi ini, Hidayat juga menyatakan keprihatinannya. “Saya sedih karena dalam era reformasi yang muncul adalah ‘nail Orba’ dengan melakukan stigmatisasi tidak pancasilais,” kata Hidayat, “Janganlah Pancasila dijadikan tameng karena itu hanya akan mnejadi anomali, pengulangan stigmatisasi Orba.”

(Foto: Argus Firmansah)
Taufik Rahzen mengkaji konteks relasi Pancasila dengan tonggak sejarah nasional bangsa Indonesia. Indonesia Muda, di mana di dalamnya terdapat penerbitan pers nasional pertama di Indonesia yaitu Medan Prijaji, dan Soekarno muda yang melakukan konstruksi semangat kebangsaan Indonesia dengan gerakan mempersatukan kamu muda saat itu. Nasionalisme kita adalah nasionalisme berdasarkan kesamaan nasib dan kehendak. Keindonesiaan pada masa Indonesai Muda berdasarkan dialog panjang yang berprinsip bertanah air dan berbahasa, sepert termuat di dalam sumpah Pemuda.

Ketika seorang siswi kelas 11 SMU 9 Bandung, Violeta Rahmanda, ditanya mengatakan bahwa Pancasila saat ini masih penting. “kalau tidak ada Pancasila mungkin nati bisa perang-perangan,” katanya di Gedung Indonesia Menggugat dalam acara Dialog tersebut. Ia menjelaskan, di sekolahnya bnayak teman-temannya yang berasal dari beragam suku bangsa Indonesia, dan kami menjaga kebersamaan kami sebagai pelajar. (argusbandung.blogspot.com/19 Juni 2007/Argus Firmansah)

Cegah ”Mahar” Politik pada Pilkada Langsung

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) diminta proaktif memberikan masukan kepada DPR yang tengah menggodok revisi paket undang-undang politik, untuk menghasilkan regulasi yang secara keras melarang ”mahar” politik dalam pilkada langsung.

Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) Hidayat Nurwahid mengungkapkan hal itu, usai menjadi pembicara pada Diskusi ”Reinterpretasi Pancasila” di Gedung Indonesia Menggugat Bandung, Senin (18/6). ”Saat pertemuan dengan KPK lalu, saya meminta agar mereka proaktif memberikan masukan kepada DPR yang tengah menggodok revisi paket UU politik. DPR harus bisa menghasilkan pasal-pasal yang keras, kuat, dan tegasmenghilangkan praktik money politics baik oleh kandidat maupun partai politik sebagai kendaraan atau biasa disebut ‘mahar’ politik,” kata Hidayat Nurwahid.

Ia mengatakan pasal-pasal yang kuat dan keras itu misalnya memunculkan sanksi diskualifikasi atau bahkan pidana bagi mereka yang terbukti melakukannya. ”Apabila hal itu bisa dilaksanakan dengan keras dan tegas, akan berdampak signifikan dengan berkurangnya kemungkinan praktik money politics.”

Namun demikian, dalam pasal-pasal itu juga dimunculkan penegasan agar rakyat juga menolak money politics. ”KPK harus mengambil peran penting di dalamnya,” kata Hidayat Nurwahid.

Berat
Sementara itu, Sekretaris DPW Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Jabar Yudi Widiana Adia mengakui beratnya ”medan pertempuran” pemilihan gubernur/wakil gubernur (Pilgub) Jabar 2008. Hal itu pula yang menjadi salah satu alasan munculnya kesan kurang dinamisnya gaung partai politik menjelang suksesi kepemimpinan politik di Jabar.

”Bukan berarti partai tidak melakukan garakan publik, tapi memang medan pertempuran Pilgub Jabar 2008 ini berat,” kata Yudi Widiana.

Beratnya medan itu mengacu pada tingginya jumlah pemilih di Jabar, yakni sekitar 29 juta pemilih. Kemudian, dari sisi geografis, banyak pemilih di pelosok yang sulit dijangkau. (Pikiran Rakyat, 19 Juni 2007/A-64)

Jangan Gunakan Simbol Agama Terkait Terorisme

Hidayat Nurwahid, Jangan Tampilkan Tersangka Teroris Dengan Simbol Agama


Ketua MPR Hidayat Nurwahid meminta agar para tersangka teroris tidak ditampilkan dengan simbol agama tertentu. Sebab, ini akan memunculkan bentuk teror baru. Hidayat mengatakan, terorisme itu ditolak oleh agama apapun termasuk agama islam. Karenanya, akan sangat bijak kalau polisi menampilkan para tertuduh itu tanpa menggunakan simbol-simbol islam. “Seperti pakai baju koko atau peci haji. Ini akan dipahami seolah-olah polisi sedang menstigmakan islam dengan terorisme,” kata Hidayat seusai menghadiri acara Reintepretasi Pancasila di Gedung Indonesia Menggugat, Bandung, Senin (18/6).

Hidayat menganjurkan agar para tersangka tersebut ditampilkan dengan pakaian biasa yang tidak terkait dengan simbol agama apapun. Dia menghargai kerja polisi yang berhasil menangkap para tersangka teroris. “Satu hal yang harus ditegaskan adalah, penanganan terorisme harus berdasarkan hukum dan hak asasi manusia. Jangan dengan sesuatu yang menghadirkan teror,” kata Hidayat.

Selain itu, Hidayat meminta agar polisi lebih terbuka terhadap publik mengenai proses penangkapan itu sendiri. Mengenai penangkapan Yusron, salah satu tersangka teroris misalnya. Di satu sisi, polisi mengaku telah menangkapnya sesuai dengan prosedur.

Di sisi lain, istri Yusron, Sri Mardiati, mengatakan bahwa suaminya ditembak polisi dengan disaksikan anaknya. “Jangan sampai membasmi teror dengan cara-cara teror, ini tidak dibenarkan oleh undang-undang dan hak asasi manusia,” ujar Hidayat menegaskan. Mengenai nama Abu Bakar Baasyir yang sempat disebut-sebut terkait terorisme itu, Hidayat mengatakan, terorisme terkait dengan hukum.

Oleh karenanya, siapapun yang disebut harus perlakukan sesuai dengan hukum. “Kalau memang tidak ada bukti kesalahan, jangan dihukum. Begitu juga sebaliknya,” papar Hidayat. (www.kompas.co.id/, 18 Juni 2007/Mohammad Hilmi Faiq)

Pemkot Bandung Sediakan Anggaran Rp 23 Miliar

Siswa Miskin Dapat Bantuan

Pemerintah Kota Bandung menyediakan anggaran Rp 23 miliar sebagai bantuan pendidikan bagi siswa dari keluarga tidak mampu. Bantuan yang diberi nama ”Bantuan Wali Kota Khusus ke Sekolah ” (Bawaku ke Sekolah) itu diberikan dalam bentuk biaya pendidikan bagi 67.250 siswa tidak mampu dan pembukaan sekolah gratis.

Kepala Dinas Pendidikan (Kadisdik) Kota Bandung Oji Mahroji menyampaikan hal itu kepada wartawan usai diskusi "Akses Pendidikan untuk Rakyat Miskin", di gedung Indonesia Menggunggat (GIM), Jln. Perintis Kemerdekaan Bandung, Senin (4/6). Bantuan biaya pendidikan untuk siswa tidak mampu diberikan kepada lebih kurang 30.000 siswa SD, 22.000 siswa SMP, dan sisanya untuk siswa SMA/SMK negeri ataupun swasta. Masing-masing, SD sebesar Rp 200.000,00/siswa/tahun, SMP Rp 350.000,00/siswa/tahun, SMA Rp 400.000,00/siswa/tahun, dan SMK Rp 450.000,00/siswa/tahun. Sedangkan sekolah gratis akan segera dibuka di kawasan pinggiran Kota Bandung sebanyak 13 SD, 1 SMP, dan 1 SMA.

Bantuan tersebut, menurut Oji, merupakan subsidi pemerintah bagi masyarakat miskin yang diharapkan mendorong sekolah untuk membebaskan biaya pendidikan kepada mereka.
Oji meminta sekolah segera melaporkan jumlah siswa miskin yang mendaftar ke sekolah yang bersangkutan, kepada Dinas Pendidikan Kota Bandung pada Agustus mendatang, agar Disdik dapat segera melakukan verifikasi data untuk penyesuaian bantuan yang akan diberikan.

Sesuai dengan jadwal pendaftaran yang sudah ditetapkan dalam peraturan wali kota penerimaan siswa baru (Perwal PSB) 2007/2008, pendaftaran untuk siswa miskin dijadwalkan pada 11-16 Juni, dengan pelaksanaan seleksi selambat-lambatnya 18-23 Juni.
Seleksi berupa surat keterangan tidak mampu dari kelurahan tempat domisili yang disahkan dengan kartu keluarga serta Kartu Kendali Sekolah Anak (KKSA). Bila verifikasi data sudah selesai, sekolah akan melakukan kunjungan ke rumah.

"Jadi, calon siswa dapat mendaftarkan diri ke sekolah negeri ataupun swasta yang dekat dengan domisili tempat tinggalnya dalam satu kecamatan atau kecamatan tetangganya. Setelah diterima di sekolah, calon siswa harus dibebaskan dari biaya sekolah," ujarnya. Ditambahkan, bantuan tersebut tidak mengganggu bantuan lain yang sebelumnya ada seperti bantuan operasional sekolah (BOS) yang diberikan pemerintah pusat. Sedangkan kuotanya termasuk kuota 10% siswa yang terjaring dari jalur tidak mampu pada PSB.

Tunggu data
Wakil Ketua Harian Panitia Anggaran DPRD Kota Bandung Ade Koesyanto yang dihubungi via telefon semalam mengatakan, dana Rp 23 miliar tersebut masuk dalam pos untuk Dinas Pendidikan. Namun hingga saat ini belum dicairkan, karena masih menunggu data akurat siswa tidak mampu dengan kriteria ketidakmampuan yang jelas dari Disdik Kota Bandung.

"Hingga saat ini pihak disdik belum menyerahkan data yang akurat tentang siswa SD, SMP, dan SMA yang tidak mampu di Kota Bandung. Ini merupakan dana yang besar, jadi kami ingin dana ini tepat sasaran," tuturnya.

Ade juga berharap Disdik Kota Bandung sudah menyerahkan data tersebut kepada dewan sebelum Juni. "Ya pokoknya sebelum tahun ajaran baru saja. Karena, biaya sekolah itu banyak dibutuhkan pada tahun ajaran baru," katanya lagi. Ia juga mengatakan, dana pembiayaan untuk siswa tidak mampu tersebut akan digulirkan setiap tahun. "Kami akan terus gulirkan dana ini dan berharap angkanya akan semakin besar tiap tahunnya," tutur Ade.

Sebab, jika pemerintah memang mencanangkan wajib belajar 9 tahun, maka sudah kewajiban pemerintah pula untuk menggratiskan pendidikan hingga setidaknya sampai tingkat SMP.
Ketika ditanya apakah di tahun berikutnya dana itu akan diberikan untuk siswa lain atau diteruskan kepada siswa yang sudah dapat tahun ini, Ade menjawab, "Ya, tentu saja yang tahun ini dan yang baru juga kalau bisa."

Untuk anak-anak yang sudah dapat tahun ini, jika pada tahun depan masih sekolah, maka masih akan dapat. "Masa tahun ini sekolah tahun depan putus sekolah. Pokoknya selama dia masih masuk kriteria tidak mampu akan terus kita biayai," ucapnya.

Sangat minim
Sementara itu, pakar hukum Indra Prawira menilai, akses pendidikan untuk rakyat miskin di Kota Bandung masih sangat minim. Penetapan kuota 10% dari jalur tidak mampu pada penerimaan siswa baru (PSB) masih bercampur dengan siswa yang masuk dari jalur prestasi (nonakademis). Padahal seharusnya, pemerintah memberikan kuota tersebut total hanya untuk siswa miskin.

Menurut dia, mendapatkan pendidikan yang layak adalah hak. Jika pemerintah tidak memberikan hak tersebut kepada rakyat, sudah seharusnya rakyat menggugat pemerintah.
Namun karena pemahaman hukum masyarakat masih lemah, pelanggaran-pelanggaran hak yang dilakukan pemerintah terhadap rakyat, dibiarkan begitu saja. Bahkan, DPRD sebagai wakil rakyat yang seharusnya ikut memikirkan rakyat, malah berpikir untuk dirinya sendiri. "Kondisi seperti ini harus dibongkar. Kemauan politik pemerintah harus jelas. Berikan hak pendidikan itu sebagaimana layaknya kepada rakyat. Jika tidak, rakyat tidak bisa membiarkan keadaan ini terus berlangsung," ucap Indra.

Salah satu political will yang dapat diterapkan pemerintah dalam memberikan akses pendidikan kepada rakyat miskin, menurut Indra, setiap sekolah negeri ataupun swasta wajib menyediakan kuota 10% bagi siswa miskin yang berada di sekitar sekolah. Selain itu, gratiskan biaya pendidikan. "Pemerintah kita ini terlalu banyak komitmen sedangkan konsistensinya minim. Berbeda dengan pemerintah Malaysia, mereka komitmennya rendah tapi konsistensinya tinggi," ujarnya.

Senada dengan itu, anggota Komisi D DPRD Kota Bandung Arif Ramdani menyebutkan, jangankan untuk memberikan bantuan, pendataan masyarakat miskin saja sulit dilakukan. Pemerintah Kota Bandung belum mempunyai data yang pasti jumlah masyarakat miskin di wilayahnya.

Berbeda dengan Jimbaran Bali, seluruh rakyat miskin sudah terdata bahkan teregistrasi sehingga tidak sulit bagi pemerintah saat akan memberikan bantuan.
Dalam hal penyusunan anggaran pendapatan dan belanja sekolah (APBS), Arif mengatakan, pemerintah seharusnya mencari terobosan sistem evaluasi agar efisiensi APBS dapat dirasakan masyarakat. "Tapi karena evaluasi terhadap APBS yang dibuat sekolah oleh Disdik lemah, biaya pendidikan menjadi tinggi. Rakyat miskin sulit untuk mendapatkan pendidikan," ujarnya.

Pantau bersama
Sementara itu, perihal masih adanya pungutan biaya walaupun pemerintah sudah mengeluarkan berbagai bantuan seperti BOS, Oji menjelaskan, hal itu terjadi karena jumlah anggaran pendapatan dan belanja sekolah (APBS) di atas jumlah dana BOS yang diterima sekolah yang bersangkutan.

Oji mengakui, pihaknya tidak dapat ikut campur lebih jauh dalam penetapan APBS karena hal itu sudah merupakan kewenangan sekolah masing-masing. Namun demikian, dengan adanya BOS, sedikitnya sudah 30% SD dan 1 SMP di Kota Bandung dapat menggratiskan biaya pendidikan bagi siswanya. Seperti yang terjadi di SD Hanura, SD Sondariah, SD Blok Sawah, dll.

"Untuk itu saya meminta agar masyarakat ikut memantau penggunaan dana-dana bantuan tersebut di sekolah sehingga efisiensi dan efektivitasnya dapat dirasakan," ujar Oji.
Menjawab pertanyaan wartawan tentang jumlah 67.250 siswa miskin, Oji mengatakan, hal itu merupakan data yang berhasil dikumpulkan Disdik Kota Bandung tahun 2005.

Jika jumlah tersebut bertambah, kemungkinan besar pemerintah akan menetapkan skala prioritas. Karena pemerintah hanya memberikan bantuan sesuai jumlah yang sudah ditetapkan. "Inilah kesulitan yang kita hadapi. Pemerintah tidak mungkin memberikan bantuan kepada seluruh masyarakat miskin yang ada karena dana yang tersedia sangat terbatas," ujarnya. (Pikiran Rakyat, 5 Juni 2007/A-148/A-154)

Gerakan Mahasiswa Harus Bisa Bangun Jaringan Yang Kuat

Jangan Mudah Dicampuri Kekuatan Asing
Gerakan mahasiswa tidak dapat bergerak sendiri untuk menggapai tujuannya. Mereka harus mampu membangun jaringan antarkelompok gerakan agar pola gerakannya menjadi kuat. Saat ini ditengarai gerakan mahasiswa sudah terpolarisasi, bahkan terbelah-belah, oleh kepentingan masing-masing kelompok.

Demikian antara lain benang merah yang mengemuka dalam simposium nasional bertajuk "Rekonstruksi Pergerakan Mahasiswa dalam Membangun Bangsa". Acara ini diadakan oleh Pimpinan Pusat Himpunan Mahasiswa dan Mahasiswi Persatuan Islam di Gedung Indonesia Menggugat, Minggu (27/5).

Hadir sebagai pembicara adalah Fuad Bawazier, politisi nasional; Syahrin Hamid, perwakilan aktivis '98; dan Hery Suhermanto, perwakilan Bappenas. Syahrin Hamid menjelaskan, gerakan mahasiswa dewasa ini sudah terpolarisasi sedemikian rupa. Mahasiswa terbelah berdasarkan kepentingan masing-masing kelompok, bahkan ada yang diindikasi tidak lagi independen.

Idealnya, kata Syahrin, mahasiswa harus membentuk jaringan antarmahasiswa untuk menyamakan gerakan. Cara ini akan lebih efektif untuk menghadapi tantangan menuntaskan agenda reformasi dan setelah reformasi.

Menurut Syahrin, salah satu tantangan terbesar mahasiswa adalah kemiskinan. Kemiskinan muncul bukan karena orang-orang miskin itu kurang beruntung, tetapi karena mereka tidak mendapatkan akses untuk mendapatkan pekerjaan yang layak. "Siapa yang menentukan akses tersebut, ya pemerintah. Inilah tantangan mahasiswa," kata Syahrin.
Kekuatan asing
Tantangan lainnya adalah memerangi kekuatan asing yang kian menguasai pemimpin bangsa ini. Syahrin memberikan contoh sikap pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono yang awalnya mendukung kebijakan Pemerintah Iran,tetapi kemudian beralih mendukung Amerika dalam hal nuklir. Ini merupakan bentuk sikap yang mudah dikendalikan kekuatan asing.

Salah satu kelemahan pemimpin saat ini, kata Fuad, adalah mudah dikendalikan kekuatan asing. Contohnya, setiap kebijakan yang diambil Pemerintah Indonesia harus mendapat restu dari Amerika. Rendahnya mentalitas pemimpin bangsa ini, lanjutnya, juga terlihat dari banyaknya pejabat yang terlibat kasus korupsi.

"Pada zaman kemerdekaan, banyak pemimpin yang masuk penjara karena berjuang memerdekakan bangsa. Sekarang ini banyak pejabat masuk penjara karena korupsi," ujarnya.
Lebih lanjut Fuad mengatakan, "Pemimpin zaman dulu selalu berpikir tentang masa depan. Pemimpin sekarang berpikir tentang masa lalu. Dulu bersatu melawan asing, sekarang berlomba membangun jaringan dengan asing untuk kepentingan dirinya, bukan idealisme seperti para angkatan '45. Ini pengkhianatan." (Kompas, 28 Mei 2007/MHF)

Pemerintah Banding, UN 2007 Jalan Terus

Pemerintah akan melakukan banding terhadap putusan Majelis Hakim Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat yang mengabulkan gugatan warga negara mengenai Ujian Akhir Nasional (UAN) 2006. Karena itu, Ujian Nasional (UN) 2007 tetap jalan terus.

”Saya sudah ketemu presiden dan wapres, dan keduanya memberikan pengarahan kepada saya untuk naik banding,” kata Menteri Pendidikan Nasional (Mendiknas) Bambang Sudibyo di Istana Negara, Jakarta, Selasa (22/5). Seperti diketahui, PN Jakarta Pusat, Senin (21/5), dalam amar putusannya mengabulkan gugatan citizen lawsuit (gugatan warga negara) dari 58 siswa yang tidak lulus UAN dan masyarakat pemerhati pendidikan. Disebutkan, presiden, wakil presiden, Mendiknas, serta Ketua Badan Standardisasi Nasional Pendidikan (BSNP) telah lalai memenuhi perlindungan HAM terhadap warga negara, terutama hak-hak pendidikan.

Menurut Mendiknas, upaya banding ditempuh mengingat penggugat hanya menang pada gugatan subsider. Sementara, untuk primernya dimenangi pemerintah. ”Sekarang naik banding, UN 2007 jalan terus, jadi tak ada yang dirugikan,” kata Bambang seraya mengatakan bahwa hal itu belum ada keputusan tetap.

Diingatkan, kebijakan UN bukan merupakan keputusan Depdiknas saja, tetapi merupakan keputusan pemerintah. ”Sebelumnya UAN pernah digugat di MA. (Dalam gugatan) sekarang ini ada aspek-aspek tertentu yang dimenangkan penggugat dan ada aspek-aspek tertentu yang dimenangkan pemerintah,” ungkapnya.

Sementara itu, Wakil Ketua Komisi X DPR Masduki Baidlowi menyatakan bersyukur atas keputusan PN Jakarta Pusat tersebut. Meski demikian, dia tidak mempermasalahkan jika pemerintah akan mengajukan banding.

”Saya bersyukur semoga saja keputusan di Pengadilan Tinggi dan MA tetap mengacu pada keputusan pertama. Silakan saja banding karena menurut UU memang diperbolehkan bagi pihak yang kalah,” katanya.

Cacat hukum
Terkait dengan keputusan PN Jakarta Pusat itu, Federasi Guru Independen Indonesia (FGII) mendesak pemerintah agar meninjau ulang syarat kelulusan UN yang akan diumumkan pada 16 Juni mendatang.

Sekjen FGII Iwan Hermawan didampingi Ketua I Forum Aksi Guru Independen (FAGI) SD Kota Bandung Ahmad Taufan dan Wakil Ketua Forum Orangtua Siswa (Fortusis) Kota Bandung Wanto Subawanto menyampaikan hal itu kepada wartawan di gedung Indonesia Menggugat (GIM), Jln. Perintis Kemerdekaan, Bandung, Selasa (22/5).

Iwan menjelaskan, bila mengacu pada hasil putusan sidang PN Jakarta Pusat, pelaksanaan UN 2006/2007 dinilai tidak sah dan cacat hukum. Pasalnya, sejak awal pelaksanaan UN, proses persidangan gugatan UN masih sedang berjalan. Selain itu, poin 3 hasil putusan sidang PN Jakarta Pusat memerintahkan para tergugat untuk meningkatkan kualitas guru, kelengkapan sarana dan prasarana, akses informasi yang lengkap di seluruh daerah di Indonesia sebelum melaksanakan kebijakan UN lebih lanjut.

”Itu artinya, kalau UN harus tetap dilaksanakan, pemerintah tetap dengan kesendiriannya dan tidak mengindahkan keputusan hukum yang berlaku,” ujar Iwan.

Tentang rencana pemerintah yang akan naik banding atas putusan PN Jakarta Pusat itu, Iwan memperkirakan nasib siswa akan terkatung-katung karena proses banding akan memakan waktu cukup lama. ”Oleh karena itu, FGII menawarkan kompromi agar meninjau ulang syarat kelulusan UN,” ujarnya. Semula, kata Iwan, syarat kelulusan UN hanya ditentukan single scoring dari empat syarat kelulusan yang tercantum dalam PP No. 19 Tahun 2005 pasal 27 tentang syarat kelulusan. Pertama, nilai rata-rata rapor selama tiga tahun. Kedua, nilai agama, PPKN, seni dan olah raga tidak boleh di bawah 5. Ketiga, lulus ujian sekolah (US). Keempat, lulus UN. Jika salah satu nilai dari syarat tersebut tidak terpenuhi, siswa dinyatakan tidak lulus.
Dalam kompromi itu, seluruh nilai dari keempat syarat tersebut diakumulasi sehingga tidak terjadi ”saling bunuh” antara syarat yang satu dengan yang lain. Menurut Iwan, kompromi seperti ini, tidak menyalahi UU Sisdiknas dan memenuhi aspek kognitif, afektif, dan psikomotorik yang terjadi dalam proses belajar-mengajar (PBM).

Desak gubernur
Sementara itu, Wakil Ketua Fortusiswanto Subawanto menyatakan, kemenangan gugatan UN di PN Jakarta Pusat ini, harus ditindaklanjuti Gubernur Jawa Barat dan DPRD Jabar agar segera mengirimkan surat kepada pemerintah untuk tidak menjadikan UN sebagai syarat kelulusan.
Mengingat salah satu butir hasil gugatan tersebut memerintahkan kepada tergugat untuk mengambil langkah-langkah konkret untuk mengatasi gangguan psikologis dan mental peserta didik usia anak akibat penyelenggaraan UN.

Selain itu, kemenangan tersebut juga didukung Kaukus Pendidikan DPR RI dan pakar pendidikan seperti Imam Prasojo, Arief Rahman, dll. ”Kalau pemerintah masih mensyaratkan UN sebagai kelulusan, akan terjadi lagi tekanan psikologis terhadap siswa. Itu artinya, pemerintah melakukan kelalaian dua kali,” ujarnya.

Wanto juga mengatakan, pihaknya selaku perwakilan orang tua siswa, menolak keras rencana pemerintah memberlakukan UN bagi siswa kelas VI SD pada tahun 2008 mendatang. ”Jangankan untuk siswa SD, untuk siswa SMP dan SMA saja sudah menimbulkan gangguan psikologis luar biasa. Bagaimana untuk anak SD,” ujarnya menegaskan. (Pikiran Rakyat, 23 Mei 2007/A-130/A-148)

FGII Imbau Pemerintah Tiadakan Ujian Nasional

Federasi Guru Independen Indonesia (FGII) mengimbau agar pemerintah meniadakan ujian nasional (UN) 2007. Peniadaan dilakukan untuk menghormati proses persidangan gugatan UN yang sedang bergulir di pengadilan negeri (PN) Jakarta Pusat. Sebagai gantinya, FGII menyarankan penyelenggaraan sistem ujian baru atau kembali ke sistem lama, ebtanas.

"Pemerintah harus menghentikan UN. Minimal, sampai putusan PN Jakarta Pusat dibacakan, Maret atau April," ujar Ketua Umum FGII, Suparman, di sela-sela diskusi terbatas yang digelar dalam rangka HUT ke-5 FGII di Gedung Indonesia Menggugat, Jln. Perintis Kemerdekaan, Bandung, Rabu (17/1).

Kalaupun harus ada ujian akhir, lanjutnya, bentuknya harus berbeda dengan UN. Penentuan kelulusan harus menyertakan nilai mata pelajaran lain yang dipelajari selama menuntut ilmu pada jenjang pendidikan yang digeluti.

Hal serupa juga diungkapkan oleh perwakilan siswa, orang tua, guru, kepala sekolah, dan aktivis pendidikan yang menghadiri acara tersebut. Mereka menilai, pelaksanaan UN merupakan bentuk ketidakadilan terhadap siswa dan pemerkosaan terhadap hak guru untuk menentukan kelulusan siswa.

"Usulan untuk menghapus UN 2007 ini memang belum sempat saya sampaikan. Kemungkinan besar besok atau minggu depan baru akan saya sampaikan kepada instansi terkait," ujarnya.

Jika imbauan tersebut tidak dihiraukan, Suparman berjanji, pihaknya akan mengerahkan massa. Pasalnya, menurut pandangan dia, hingga saat ini, selain jalur politis, pengerahan massa merupakan cara paling efektif dalam menyampaikan aspirasi kepada pemerintah.

"Selain itu, kami juga akan mencoba menempuh jalur politis, dengan mendesak Komisi X DPR RI supaya kembali memberikan perhatian lebih untuk masalah UN, seperti sebelumnya," katanya.

Kendur
Diakui Suparman, saat ini perhatian Komisi X DPR terhadap masalah UN sudah mulai kendur. Jika sebelumnya Komisi X sempat menolak UN dengan alasan bertentangan dengan UU Sistem Pendidikan Nasional, saat ini Komisi X justru terkesan mendukung kebijakan tersebut.

"Kami sangat menyesalkan sikap Komisi X DPR RI. Sikapnya jauh berubah. Saat ini mereka terkesan memberi dukungan penuh pada pelaksanaan UN. Ketika Mendiknas mengumumkan untuk memajukan jadwal UN, Komisi X sama sekali tidak memberikan reaksi," katanya.

Oleh karena itu, Suparman berjanji, pihaknya akan mulai menyadarkan Komisi X bahwa masalah UN merupakan hal penting bagi masyarakat banyak. "UN tidak lagi terkait dengan hak yuridis dan pedagogis guru, tapi telah meluas menjadi kepentingan masyarakat umum," tuturnya.

Pasalnya, dengan keberadaan UN yang menentukan kelulusan, bukan hanya guru tertekan karena harus berjuang menyesuaikan program pengajaran dengan waktu yang tersisa. Orang tua siswa juga tertekan secara psikologis karena terpanggil untuk ikut memikirkan cara untuk meluluskan anaknya.

Tidak adil
"Kami sebagai orang tua juga merasa resah dan tertekan secara psikologis. Pemberlakuan UN sungguh-sungguh merupakan bentuk ketidakadilan. Bagaimana mungkin pemerintah berpikiran untuk menyeragamkan hasil pendidikan di seluruh Indonesia dengan standar Jakarta? Tidak mungkin," kata seorang perwakilan orang tua siswa.

Hal tersebut diamini Imam Santoso, Kepala Sekolah SMA Puragabaya. "Pada dasarnya saya setuju jika UN dijadikan bahan evaluasi hasil pendidikan siswa. Namun, jika UN menjadi penentu kelulusan, sama saja dengan pembunuhan karena memberikan tekanan psikologis yang besar terhadap siswa," katanya.

Bahkan, menurut pengakuan Imam, tahun lalu, salah satu muridnya memilih mengakhiri hidup akibat gagal ujian. "Sebagai gurunya, kami merasa benar-benar bersalah," tambahnya.
Tekanan psikologis yang besar itu juga diakui Veronica Dwi Putri, siswi SMAN 12 Bandung. Kendati pemerintah memberikan alternatif mengikuti paket C jika tidak lulus UN, ia memandang hal itu bukan jalan keluar yang baik.

"Belajar itu proses. Tidak adil rasanya jika proses pembelajaran selama tiga tahun hanya ditentukan hasil ujian tiga mata pelajaran selama tiga hari. Itu tidak relevan!" tuturnya.
Oleh karena itu, ia berharap agar pemerintah kembali meninjau kebijakan UN, termasuk keputusan memajukan jadwalnya. (Pikiran Rakyat, 19 Januari 2007/A-150)

Pengangkatan Guru Honorer tak Terbuka

Jatah pengangkatan pegawai negeri sipil (PNS) untuk tenaga honorer guru di Jawa Barat anggaran Januari 2007 mencapai 12.455 orang. Namun, informasi tersebut belum banyak diketahui para guru di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota.

Kabag Kepegawaian Pemprov Jabar, Aip Rivai mengatakan, pengangkatan tenaga honorer tidak memungkinkan terjadinya "jatah-jatahan" karena hal itu ditentukan langsung oleh BKN sesuai data base yang terdapat di BKN, dengan mengacu pada ketentuan PP No. 48/Tahun 2005 tentang pengangkatan tenaga honorer menjadi PNS.

Rivai membantah pihaknya belum menyosialisasikan informasi tersebut. Menurut dia, sosialisasi sudah dilakukan ke setiap kabupaten/kota sejak November 2006. Hanya masih ada beberapa kabupaten/kota yang belum menyampaikan lagi informasi tersebut kepada setiap SKPD.

Dia mengimbau, agar setiap kabupaten/kota segera menyampaikan kembali informasi tersebut ke setiap SKPD dengan secara terbuka dan transparan sehingga tidak terjadi persepsi yang bermacam-macam.

Tidak transparan
Sekretaris Forum Komunikasi Guru Bantu (FKGB) Jawa Barat, Diah Retno Kuntari, kepada wartawan di Gedung Indonesia Menggugat, Selasa (26/12) mengungkapkan, hanya ada dua kabupaten/kota yang secara transparan menyosialisasikan jatah tersebut kepada para guru, yaitu Kab. Subang dan Kota Cirebon. Kab. Sumedang malah menyerahkan prioritas pengangkatan PNS tersebut kepada FKGB setempat.

"Tidak terbukanya informasi tersebut, memungkinkan banyak pihak melakukan intervensi dalam menentukan prioritas. Bahkan, pada tingkat pelaksanaannya menimbulkan persepsi berbeda di setiap kabupaten/kota," kata Diah.

Untuk lebih menyebarluaskan informasi tersebut, pihaknya sudah melakukan sosialisasi pada 16 Desember 2006 lalu. FKGB juga sudah menentukan tiga syarat dalam menentukan prioritas pengangkatan PNS guru honorer, yakni melihat faktor usia, lama masa kerja, dan ijazah, dengan disesuaikan dengan tingkatan pendidikan, mulai dari TK-SMA/SMK.

Dari jumlah 12.455 tersebut, kata Diah, untuk tenaga honorer Pemprov Jabar sebanyak 179, Kab. Bogor 498, Kab. Sukabumi 470, Kab. Cianjur 652, Kab. Bekasi 1.110, Kab. Karawang 451, Kab. Purwakarta 594, Kab. Subang 468, Kab. Bandung 873, Kab. Sumedang 280, Kab. Garut 443, Kab. Tasik 592, Kab. Ciamis 493, Kab. Cirebon 643, Kab. Kuningan 889, Kab. Indramayu 612, Kab. Majalengka 715, Kota Bandung 726, Kota Bogor 360, Kota Sukabumi 59, Kota Cirebon 163, Kota Bekasi 607, Kota Depok 155, Kota Cimahi 214, Kota Tasikmalaya 126, dan Kota Banjar 83 orang.

Dia mengatakan, untuk Kota Bandung terdapat 2.111 guru tenaga honorer yang dibiayai APBN dan APBD. Jumlah tersebut terdiri atas 1.600 guru bantu (gurban) dan 511 guru sukarelawan (sukwan).

Menjawab pertanyaan perihal sumber data FKGB, Diah mengatakan, pihaknya memperoleh data dan informasi tersebut langsung dari Badan Kepegawaian Nasional (BKN) Pusat Jakarta. "Di tingkat provinsi, data ini memang sudah masuk, tetapi belum diketahui di tingkat kabupaten/kota yang ada," ujarnya menambahkan. (Pikiran Rakyat, 27 Desember 2006/A-148)***

Peringatan Hari Guru Sedunia di Bandung

Puluhan perwakilan guru di Kota bandung memperingati Hari Guru Sedunia, Kamis (5/10), di Gedung Indonesia Menggugat, Kota Bandung. Mereka sempat berlinang air mata ketika para murid menyanyikan lagu Terima kasih Guru dan membacakan puisi. “Sangat menyentuh dan saya amat terharu,” kata Hartono, Kepala Sekolah Menengah Atas Negeri 12, Kota Bandung.

Hari itu juga, sebelum berangkat ke Indonesia Menggugat, Hartono bersama seluruh guru dan murid di sekolahnya memperingati hari guru dengan memberikan bunga simbol kasih sayang pada padara guru.

“Kami menyebut kampus kami, kampus perjuangan dan persaudaraan agar para pelajar mengerti apa yang mereka capai adalah buah perjuangannya dan kami seluruhnya mendukung dengan rasa persaudaraan," kata Hartono yang membebaskan murid belajar dan membangun keakraban yang santun antara murid dan guru.

“Guru juga harus mampu memperlihatkan pada muridnya nilai-nilai baik yang bisa membawa mereka mencapai kesuksesan dan kebahagian di masa mendatang,” kata Hartono. Pada peringatan tersebut, para guru di Kota Bandung memberi penghargaan pada Enton (74), guru yang mengabdi paling lama di Kota Bandung. Ia kini mengajar Seni Rupa di SMAN 16 Kota Bandung. Ia telah menjalankan profesinya selama 50 tahun. Setelah pensiun 14 tahun lalu, Enton langsung menjadi guru honor di sekolah terakhir tempatnya mengajar.

“Saya selalu mendoakan murid-murid saya lebih baik ilmu, kesehatan, dan rezekinya dari saya,” kata Enton yang berprinsip tidak memaksa anak belajar sesuatu yang tidak disukainya. Acara juga dilengkapi dengan seminar mengenai kesejahteraan guru. (www.kompas.co.id/5 Oktober 2006/YNT)

Uji Sertifikasi Guru Segera Dimulai

Uji sertifikasi guru akan segera dimulai akhir 2006. Tahap pertama akan ada 20.000 guru yang diuji. Mereka akan segera mendapatkan kenaikan gaji sebanyak satu kali lipat gaji pokok. Ditargetkan pada Januari 2007 para guru telah menerima tunjangan profesi.

Demikian dikatakan Fasli Jalal, Dirjen Peningkatan Mutu Pendidikan dan Tenaga Kependidikan usai acara peringatan Hari Guru Sedunia di Gedung Indonesia Menggugat, Kota Bandung, Kamis (5/10).

Menurut Fasli, ada kurang dari 100.000 orang guru yang tengah menjalankan pendidikan S1 dengan upaya sendiri. Pada tahun 2007 ada sekitar 300.000 guru yang melanjutkan S1.
“Dengan banyaknya guru yang mengupayakan sendiri peningkatan kualitas akademiknya, tidak sampai 10 tahun, seluruh guru di Indonesia sudah memenuhi syarat kualifkasi akademik,” kata Fasli.

Mereka yang telah mengikuti uji sertifikasi akan mendapatkan kenaikan gaji pokok 100 persen dari gaji pokok yang diterimanya sebelum uji sertifikasi. Untuk uji sertifikasi hanya dibutuhkan waktu tiga hari untuk setiap guru.

Sambil menunggu Rancangan Peraturan Pemerintah tentang Guru dan Dosen, Departemen Pendidikan Nasional akan segera menunjuk Lemmbaga Pendidikan Tendaga Kependidikan yang bisa memberikan pendidikan profesi. Bagi mereka yang sudah sarjana namum mengambil bidang nonpendidikan bisa meneruskan satu tahun dan khusu guru SD hanya enam bulan. (www.kompas.co.id/5 Oktober 2006/YNT)

Jika Pemerintah tidak Menyumbang Biaya Pendidikan

"Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya" Itulah petikan dari salah satu ayat dalam Undang-Undang Dasar 1945, Pasal 31 ayat (2). Akan tetapi, apakah betul semua warga negara bisa mengenyam pendidikan apalagi menikmati pendidikan yang dibiayai pemerintah?

Jawabannya tidak. Bahkan yang terjadi sekarang justru setiap saat biaya pendidikan terus melambung tinggi. Sekolah negeri tentunya dan jangan tanya dengan sekolah swasta.
Ironis. Di saat pemerintah menuntut suksesnya wajar dikdas dan peningkatan kualitas pendidikan, di satu pihak tidak ada dukungan untuk mewujudkannya. Orang tua sepertinya harus berjuang sendiri untuk dapat mengantar anak-anaknya menjadi manusia terdidik. Dan istilah “pemerintah wajib membiayai” seakan menjadi tak bermakna.

Uang jutaan rupiah pun harus dikeluarkan para orang tua agar anak-anaknya mendapat pendidikan yang layak. Tak terkecuali bagi orang-orang yang tidak mampu. Karena semua orang tua seakan menjadi tidak mampu jika dihadapkan dengan tuntutan biaya yang begitu besar demi pendidikan anaknya.

Iwan Hermawan dari Koalisi Pendidikan Kota Bandung mengungkapkan, sedikitnya terdapat enam faktor yang menjadi penyebab mahalnya biaya sekolah. Yaitu kurangnya subsidi pemerintah, anggaran pembiayaan sekolah tidak efektif dan efisien, kurang adanya demokratisasi dan transparansi pengelolaan sekolah, lemahnya pengawasan, kurangnya kesejahteraan guru, dan tidak ada standardisasi biaya operasi sekolah.

"Subsidi sangat terbatas terlebih pemerintah Kota Bandung tahun ini tidak memberikan biaya operasional pendidikan (BOP). Akibatnya, anggaran sekolah sepenuhnya berasal dari orang tua siswa apalagi SMA atau SMK yang tidak mendapat guliran dana BOS," ujar dia dalam diskusi interaktif Forum Orang Tua siswa (Fortusis), Jumat (28/7), di Gedung Indonesia Menggugat, Jln. Perintis Kemerdekaan Bandung.

Padahal, menurut Iwan, merupakan pelanggaran jika pemerintah tidak memberikan sumbangsih dalam penyelenggaraan pendidikan. Sebab selain tertulis dalam UUD 1945, di dalam UU No. 20 tentang Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (USPN) Pasal 46 pun tersurat bahwa pendanaan pendidikan menjadi tanggung jawab bersama pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat. "Jadi bukan hanya orang tua yang menjadi sumber pendanaan sekolah," katanya.

Tidak adanya standardisasi biaya sekolah juga menjadi penyebab lain dari mahalnya biaya sekolah. Sebab tidak ada kontrol dari pemerintah berapa biaya yang boleh ditetapkan atau dipungut oleh pihak sekolah. Untuk itu, pemerintah dan pemerintah daerah dituntut se-gera menetapkan standardisasi biaya operasi satuan pendidikan sebagaimana diamanatkan Peraturan Pemerintah No. 19 Tahun 2005 Bab IX Pasal 62.

"Yang menjadi masalah adalah peraturan menteri yang memuat standardisasi biaya pendidikan sampai saat ini belum ada," ungkapnya. Sebagai solusi, dikatakan Iwan, orang tua harus bersikap kritis terutama pada saat rapat dengan sekolah untuk menentukan dana pendidikan. Serta harus mau menanyakan sumber-sumber pendapatan sekolah selain dari masyarakat.

Komite sekolah sebagai pengontrol juga harus diberdayakan. Jangan sampai komite yang berperan sebagai jembatan antara orang tua dan sekolah justru kehilangan fungsi tersebut dan itu yang terjadi di hampir di semua sekolah. (Pikiran Rakyat, 29 Juli 2006/Nuryani)

Orang Tua Siswa Ancam Turun Ke Jalan

Lembaga Advokasi Pendidikan mengharapkan Dinas Pendidikan Kota Bandung dan DPRD Kota Bandung menjadi mediator antara orangtua siswa dari SMP dengan kurikulum berbasis kompetensi (KBK) untuk berdialog dengan Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) dan Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP). Dialog itu diharapkan menyelesaikan masalah perbedaan perlakuan antara siswa KBK dan non-KBK saat proses penerimaan siswa baru (PSB).

'BSNP harus sesegera mungkin mengeluarkan kebijakan terkait dengan tuntutan orangtua siswa KBK. Kalau mereka sampai melakukan aksi ke jalan, saya kira masalah ini akan menjadi panjang,' kata Dan Satriyana, Ketua Lembaga Advokasi Pendidikan Kota Bandung di Gedung Indonesia Menggugat, Minggu (9/7).

Seperti diberitakan, puluhan orangtua siswa dari beberapa SMP KBK mengadukan beberapa tuntutannya ke Disdik Kota Bandung, Jumat (7/7). Dalam pertemuan yang dimediasi oleh Kolaisi Pendidikan Kota Bandung itu, mereka menyampaikan tiga permintaan.

Tuntutan mereka, di antaranya, Disdik Kota Bandung diminta mengkonversi nilai kepada siswa KBK dengan alasan tingkat kesulitan soal KBK jauh lebih sulit dibandingkan SMP non-KBK. Perhitungan nilai ujian sekolah sebagai bagian dari nilai kumulatif ujian jumlahnya tidak sama. Untuk siswa KBK ada 5 mata pelajaran yang dihitung yaitu PPKN, IPA, IPS, Agama, dan Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK). Sementara untuk siswa non-KBK hanya 4 mata pelajaran yang dinilai. Mereka juga meminta Disdik Kota Bandung memberi kuota khusus kepada siswa KBK untuk melanjutkan ke sekolah favorit.

Menanggapi permintaan itu, Disdik Kota Bandung mengeluarkan kebijakan memperbolehkan memilih 4 dari 5 mata pelajaran yang nilainya tertinggi untuk dihitung. Namun kebijakan itu tidak diketahui secara merata oleh orangtua siswa dan pihak sekolah penyelenggara PSB. Orangtua siswa juga beranggapan kebijakan itu akan menimbulkan persaingan di antara siswa KBK.

'Sebaiknya teman-teman siswa KBK tidak datang ke Disdik, tapi ke Depdiknas dan BSNP, karena kebijakan KBK datangnya dari pusat. BSNP seharusnya bisa dengan cepat melihat persoalan ini,' lanjut Dan Satriyana.

Dengan melakukan pertemuan, diharapkan akan muncul kebijakan yang pas bagi siswa KBK di Kota Bandung. Opsi konversi nilai, kata Satriyana, lebih pas dibandingkan pemberian kuota masuk ke sekolah unggulan. Bila opsi kedua dikabulkan akan menimbulkan kecemburuan bagi siswa non-KBK karena ada perlakukan istimewa bagi siswa KBK.

Menurutnya, solusi konversi nilai sudah dilakukan BSNP untuk wilayah Jakarta. Dan solusi ini bisa diterima oleh orangtua siswa KBK. 'Seharusnya semua kepala sekolah dengan KBK belajar dari pengalaman tahun lalu. Masa persoalan ini bisa terulang lagi,' kata Dan Satriyana. (ee)

SMP KBK di Bandung
1. SMPN 2
2. SMPN 9
3. SMPN 13
4. SMPN 19
5. SMPN 21
6. SMPN 28
7. SMPN 30
8. SMPN 34
9. SMPN 36
10. SMPN 43
11. SMPN 48

Pendaftaran SLB Sepanjang Tahun
BANDUNG, TRIBUN - Penerimaan siswa baru (PSB) di sekolah luar biasa tidak sama dengan sekolah umumnya. Meskipun dalam petunjuk pelaksanaan PSB jadwalnya sama-sama akhir tahun ajaran, namun SLB bisa menerima siswa baru kapan saja.

'Sebenarnya juklak PSB sama dengan sekolah umum yaitu di akhir tahun ajaran. Tapi sekolah ini menampung anak-anak dengan kondisi fisik tidak sempurna. Jadi pendaftaran bisa dilakukan kapan saja di saat anak ingin sekolah. Sebab anak dengan kondisi luar biasa tak bisa dipaksakan. Bila dipaksakan akan menjadi beban bagi anak,' kata Kepala Sekolah SLB B Cicendo, Priyono SPd, Jumat (7/7).

PSB di SLB waktunya berlangsung sepanjang tahun dan gratis. Menurut Priyono, niat orang tua menyekolahkan anaknya yang cacat perlu disambut gembira. Pasalnya, anak cacat juga memiliki hak yang sama dengan anak normal untuk mendapat pendidikan.

Menurut Priyono, siswa yang mendaftar di tengah tahun ajaran akan diperlakukan sama dengan siswa lain. Siswa yang mendaftar saat usianya melebihi untuk siswa kelas satu, bukan berarti ia langsung masuk kelas dua atau tiga. Semua siswa yang belum pernah bersekolah akan melewati masa pendidikan di kelas satu. 'Tapi setelah beberapa bulan dites dia bisa mengerjakan, dia bisa naik kelas,' lanjut Priyono.

SLB B Cicendo adalah sekolah bagi anak cacat tuna rungu. Namun kurikulumnya tak jauh berbeda dengan sekolah umum. Jika siswa dinilai mampu mencerna semua materi yang disampaikan, mereka bisa melanjutkan ke sekolah umum. (ee)

Akses Info PSB Secara Online
BANDUNG, TRIBUN - Untuk mempermudah orang tua siswa mengetahui informasi tentang penerimaan siswa baru (PSB) tahun ajaran 2006/2007, Telkom Divre III Jabar-Banten mensponsori pembuatan akses informasi realtime 'PSB Online' dengan alamat www.psbkotabandung.com.

External Public Relation PT Telkom Divre III Jabar-Banten, Dasrizal menyebutkan, dukungan itu berupa support AstiNet sebesar 1 Mb untuk kelancaran akses ke situs tersebut. Selain dukungan langsung berupa infrastruktur, Telkom juga menyediakan solusi yang mudah untuk mengaksesnya.

'Masyarakat cuma perlu menyediakan komputer beserta modem dan telepon. Cukup dengan mendial nomor 0809 8 9999 dan tanpa harus registrasi terlebih dahulu, pelanggan akan terhubung dengan internet melalui TelkomNet-Instan,' ujar Dasrizal, Sabtu (8/7).

Menurut Dasrizal, akses ke situs tersebut juga dapat dilakukan melalui Telkom Flexi dengan handset dan equipment yang disediakan untuk komunikasi data. Melalui program Sureprice, Telkom Flexi menawarkan tarif baru untuk komunikasi data yaitu Rp 3 per Kb untuk Flexi Classy dan Rp 5 per Kb untuk Flexi Trendy. (Tribune Jabar, 9 Juli 2006/tif)

KPKB Temukan Pelanggaran Dalam PSB

Koalisi Pendidikan Kota Bandung (KPKB) telah menginventarisasi beberapa pelanggaran penerimaan siswa baru (PSB) di Kota Bandung. Pelanggaran tersebut berdasarkan laporan dari masyarakat dan hasil investigasi timnya. Pelanggaran PSB itu antara lain, ada sekolah yang memungut dana sumbangan pendidikan (DSP).

"Padahal dalam SK Wali Kota tentang PSB, baik saat pendaftaran maupaun daftar ulang, jangan dikaitkan dengan masalah keuangan. Seperti yang terjadi di beberapa sekolah di SD Kec. Rancasari," ungkap Koordinator KPKB, Iwan Hermawan dalam jumpa pers di Gedung Indonesia Menggugat, Jln. Viaduct Bandung, Rabu (5/7).

Di samping itu, juga ada SD yang melakukan seleksi selain seleksi usia dan tempat domisili siswa. Ketentuan seleksi tersebut dilakukan tanpa dikoordinasikan dengan komite sekolahnya, seperti terjadi di SDN Sabang Bandung.

Berdasarkan pemantauan "GM" di SDN Sabang, memang ada seleksi selain seleksi usia dan tempat domisili siswa. Seperti tes titik bangun (menerka bentuk atau warna), mewarnai gembar (melatih motorik halus), dilatih keberanian (menyanyi), dan tes motorik kasar (melempar bola pada keranjang). Namun, pihak sekolah menyangkal dengan mengatakan bahwa tes tersebut bukan tes akademik melainkan non-akademik.

"Dalam ketentuan PSB, sekolah diperbolehkan melakukan tes selain akademik jika pendaftar melebihi daya tampung. Pasalnya, PSB hari kedua di SD kami, siswa yang mendaftar sampai 400 orang, padahal daya tampung siswa yang akan diterima sekitar 160. Namun yang kami fokuskan adalah seleksi usia dan tempat domisili siswa," ungkap Kepala SDN Sabang, Dra. Indrawati kepada "GM", Selasa (4/7).

Aturan normatif

Sementara itu, anggota Komisi D DPRD Kota Bandung, Dra. Hj. Kusmeni S. Hartadi, Rabu (5/7) yang menyempatkan untuk meninjau kegiatan PSB di SD Sabang mengatakan, ia berharap proses PSB di SDN Sabang dikembalikan kepada aturan normatif. Aturan dimaksud adalah SK Wali Kota tentang PSB di Kota Bandung.

"Dalam SK PSB, seleksi untuk siswa SD hanya seleksi umur dan domisili siswa. Jika ada seleksi lain di luar ketentuan itu, mumpung masih dalam proses, kembalikan kepada normatif. Jangan diteruskan, lebih baik mengikuti atuarn SK Wali Kota," ungkap Kusmeni.

Sementara itu, Kepala Cabang Dinas Pendidikan Kecamatan Rancasari, Drs. Hadiana S., M.Pd. mengultimatum sekolah yang ada di wilayahnya yang memungut uang kepada siswa pada proses PSB, untuk segera mengembalikan kepada siswa bersangkutan.

Sedangkan Wali Kota Bandung, H. Dada Rosada, S.H., M.Si. saat dimintai tanggapannya tentang sekolah yang menarik DSP saat PSB mengatakan, Pemkot Bandung memutuskan untuk tidak memperkenankannya.

"Tapi 'kan di sekolah itu ada kepala sekolah dan lembaga komite sekolah. Komite harus musyawarah dengan masyarakat. Kalau wali kota mempunyai keputusan A dan masyarakat mempunyai keputusan B dengan alasan untuk kepentingan masyarakat, ya kenapa tidak," ujarnya. (Galamedia, 6 Juli 2006/B.96/B.44)**

Diskusi Masalah Sampah Bandung dalam Event Stokbuku Bandung 2006

Reformasi Pengelolaan Sampah!
Kepulan gas hitam terlepas ke udara saat tumpukan sampah di Jalan Puter (09/06) dikeruk untuk kemudian diangkut menuju TPA Cikubang di Desa Sumurbandung, Cipatat, Kabupaten Bandung. Belasan truk dan alat berat menunjukkan kemampuannya untuk mengenyahkan sampah yang menggunung semenjak April lalu, tapi tidak dapat menghilangkan rasa kecewa warga sekitar. Sampah mengakibatkan air sumur warga berubah warna dan bau sehingga terpaksa ditutup. Kesehatan warga pun tak luput dari serangan tumpukan sampah. Bau busuknya mengakibatkan mual, pusing, dan kesulitan bernafas. Warga meminta untuk TPS di Jalan Puter segera ditutup. Menurut mereka, pemerintah telah melanggar janjinya 14 tahun lalu yang mengatakan TPS Jalan Puter hanya bersifat sementara. Dan parahnya, sudah tiga kali peristiwa tumpukan sampah terjadi tanpa pengelolaan yang bijak dari Perusahaan Daerah Kebersihan Kota Bandung.

Dada Rosada sebagai Wali Kota Bandung menyayangkan sikap masyarakat yang tingkat konsumtifnya begitu tinggi. Tak heran jika sampah kian menumpuk dan pemerintah kota kesulitan untuk mencari TPA yang cukup luas untuk menampungnya. Sementara itu, warga Jalan Puter semakin gencar meminta TPS di wilayah mereka ditiadakan. Lalu dimana sampah mereka akan dibuang?

Satu kasus di atas cukup membuktikan peliknya permasalahan sampah di Kota Bandung saat ini. Walau pemerintah kota Bandung telah menemukan area TPA Sarimukti (sedang difungsikan), TPA Gunung Hejo (belum jelas kapan difungsikan) dan optimis akan mendapatkan TPA Jelekong, sampah akan terus diproduksi oleh masyarakat Bandung. Tempat pembuangan sementara yang tersebar di berbagai wilayah akan terus dipenuhi oleh sampah, mengingat kebutuhan hidup masyarakat yang terus berjalan dan ketersediaan barang yang memenuhinya. Tak peduli ada spanduk tertancap kokoh di setiap TPS yang bertuliskan 'Dilarang Buang Sampah Untuk Sementara', masyarakat dengan tingkat kesadaran lingkungan yang rendah tetap akan membuang sampah. Apa harus tetap mengharapkan pengelolaan sampah yang mengandalkan ketersediaan TPA? Sepenuhnya berharap pada pemerintah untuk serius menangani sampah yang telah kita buang tanpa ikut andil? Jelas peristiwa-peristiwa lalu, tidak hanya masalah sampah, cukup membuktikan bahwa pemerintah tidak pernah bisa tanggap.Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) dalam Dialog Kebijakan Sampah sebagai salah satu kegiatan dalam rangkaian acara Stok Buku Bandung: Pameran dan Festival Buku (05/06) di Gedung Indonesia Menggugat, memberikan sebuah solusi yang sebenarnya bukan wacana baru. Hanya saja solusi itu tak pernah terealisasi sebab pemerintah yang kurang mementingkan peranan lingkungan dalam pembangunan, dan kesadaran masyarakat yang begitu rendah. WALHI mengusulkan untuk melaksanakan reformasi mendasar dalam pengelolaan sampah: desentralisasi.

Pemerintah salah menempatkan tingkat urgensi permasalahan sampah yang selalu menganggap pencarian TPA adalah satu-satunya jalan dalam menangani masalah ini. WALHI lebih menitikberatkan tingkat urgensi pada reformasi pengelolaan sampah dengan perubahan paradigma sebagai satu awal yang tepat. Masyarakat mengganggap sampah adalah sampah yang seolah tak memiliki potensi harus segera dibuang, dan pandangan pemerintah pada pengelolaan sampah hanya menyangkut hal kumpulkan-angkut-buang. Paradigma ini mesti mengalami transformasi ke arah anggapan yang dapat mendukung jalannya pengelolaan sampah yang tidak memusat. Sampah ialah sesuatu yang sangat berpotensi secara ekonomi, sehingga tidak harus dijauhi dan segera untuk dienyahkan. Maka tiap rumah tangga atau komunitas dapat mengelola sampah tanpa perlu dikumpulkan dan diangkut terlebih dahulu. Pemerintah pun harus mendukung dalam hal kebijakan. Tidak hanya menghimbau, tetapi mengeluarkan hukum yang dapat mengatur pelaksanaan desentralisasi pengelolaan sampah. Peraturan inilah yang diharapkan untuk menekan tingkat konsumtif masyarakat.

Tentu proses desentralisasi ini pun mengalami hambatan. Tidak seluruh rumah tangga atau komunitas mengetahui cara mengelola sampah yang ramah lingkungan. Maka WALHI mengajak aktivis lingkungan, praktisi sampah, dan orang-orang yang lebih mengerti mengenai permasalahan sampah, untuk melakukan sosialisasi bertahap. Salah satu skenario yang ditawarkan ialah rumah tangga atau komunitas melakukan pemilahan sampah organis dan non-organis. Sampah organis dapat dihilangkan dengan melakukan pengomposan. Keberadaan TPS dimanfaatkan sebagai tempat untuk memisahkan sampah non-organis yang dapat didaur ulang atau tidak, dan TPA digunakan sebagai area untuk mengisolasi sampah yang berasal dari TPS atau melakukan insenerasi. WALHI dan juga kita tentunya berharap, semoga ini tidak lagi hanya sebuah wacana. (M Arfah D/http://celanarobek.blogspot.com/)

Pameran Fotografi Keindahan Alam

Karya Presiden Soka Gakkai International (SGI), DAISAKU IKEDA dan Fotografer Profesional Indonesia

Sebuah hasil interaksi cita rasa seorang manusia dan alam semesta dengan tujuan mengabadikan keindahan alam untuk menumbuhkan rasa kagum dan keinginan melindungi bumi yang begitu indah. Itulah yang terlihat dalam pameran fotografi keindahan alam ini sesuai dengan misi yang diemban Daisaku Ikeda sang fotografer dan organisasi yang diketuainya. Yang mana foto-foto dalam pameran ini tidak hanya mengambil subyek alam namun juga kehidupan manusia yang ada di dalamnya sehingga dapat membawa kita sebagai masyarakat alam pada tingkat pemahaman fotografi yang lebih tinggi lagi. Tak hanya sekedar foto tapi juga foto yang memiliki nyawa dan nilai estetika yang tinggi seiring dengan kehidupan dan keselarasan dengan alam.

Pertama kali menjejakkan kaki ke Gedung Indonesia Menggugat di Jalan Perintis Kemerdekaan No. 5, tepatnya di antara Gereja Bethel dan Bank BNI 46. Saya sudah disambut dengan kicauan riang burung dan lampion berwarna cerah merah menyala yang nampak serasi dengan gedung yang mungkin tahun 30 hingga 40-an itu. Sebagai informasi Gedung Indonesia Menggugat merupakan salah satu dari sedikit gedung kuno yang dilestarikan Pemkot Bandung sehingga nampak asri dan terawat apabila dibandingkan dengan nasib gedung-gedung tua lainnya yang telah tergusur oleh perubahan jaman. Walaupun gedung ini berukuran cukup kecil, dekorasi dan suasana yang cukup mendukung sangat membantu pameran fotografi yang cukup besar ini. Alunan lembut kaset bernuansa alam, diselingi oleh suara aliran air dari pancuran bambu kecil dan bau hio yang memikat membuat pameran ini tidak hanya sekedar pameran foto belaka. Apalagi selain itu juga ditunjang oleh display foto plus rangkaian puisi yang khusus dibuat oleh Daisaku Ikeda sendiri mengenai keindahan alam sesuai dengan judul pameran fotografi ini. Suasana masing–masing ruangan (4 ruang) bertema taman, pantai, laut, kuil di Jepang serta pencahayaan yang baik juga semakin menambah nilai plus pameran ini selain tentu saja tampilan pada hampir seluruh foto yang tampak menyegarkan mata dan rata-rata berukuran besar.
Pameran fotografi yang diadakan secara besar-besaran mulai tanggal 22 hingga 30 April 2006 di Kota Bandung dan rencananya 15 kota besar Indonesia lainnya hingga bulan September 2007 ini dapat dikatakan sangat istimewa walaupun saya sudah pernah mengunjungi pameran–pameran sejenis. Bayangkan saja dalam waktu 1 jam kita dapat berkelana ke seluruh dunia mulai dari Italia, Amerika, Nepal, Malaysia, Swiss, Thailand, Paris, Tokyo, Bahama, Alaska, hingga pesisir Indonesia yang jarang dtampilkan dalam wajah berbeda. Tak heran memang karena foto-foto yang diambil oleh Daisaku Ikeda merupakan hasil perjalanannya berkeliling dunia dalam rangka mempromosikan nilai-nilai pendidikan, perdamaian dan kebudayaan di lebih 50 negara termasuk Jepang. Perlu juga anda ketahui pameran foto berjudul Dialogue with Nature ini berawal di Kota Paris, Perancis pada tahun 1988 dan terus-menerus berkeliling dan kota ke kota di berbagai negara. Tercatat hingga saat ini jumlah kota yang disinggahi telah mencapai 101 kota di 35 negara dan dinikmati lebih dan 10 juta orang. Kita sebagai orang Indonesia tentunya patut berbangga hati karena dari 95 foto Dialogue with Nature karya Daisaku lkeda yang dibawa ke Indonesia, 66 diantaranya akan berkeliling ke + 1-29 kota dan akan dipamerkan bersama dengan 30 foto karya fotografer berbakat yang tergabung dalam Indonesian Fotografer Organization (IPO) dan + 1-20 foto dari sahabat-sahabat di Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI). Dan memang betul pameran ini bukan hanya milik Daisaku Ikeda semata tapi juga para fotografer profesional Indonesia yang turut menambah keceriaan perdamaian dunia.
Lebih lanjut sajian pameran fotografi keindahan lama ini sangat sesuai dengan posternya yang juga cukup atraktif. Walaupun pada awalnya saya berpikir foto-foto yang disajikan hanya berkisar tentang alam tapi ternyata tidak juga. Alam beserta isinya walaupun itu bersifat tradisional atau modern yang dihiasi gedung-gedung pencakar langit atau hanya sebuah tiang listrik tetap menjadi keistimewaan masing-masing foto itu sendiri. Apalagi yang membuatnya terasa istimewa adalah cara si fotografer dalam mengabadikan tiap karyanya yaitu, dengan tidak membidik melalui lubang bidik kamena, melainkan hanya memegang kameranya di depan dada dan mengambil gambar yang Ia inginkan. Ikeda menjelaskan bahwa caranya itu dikarenakan Ia mengambil foto dengan hatinya. Ketika ditanya perasaannya ketika mengambil foto-foto tersebut, Ikeda menjawab,
“Saya selalu menekan tombol kamera dengan keinginan kuat untuk berdialog dengan alam. Hanya ketika kita, manusia, terhubung dengan alam, kita akan merasa hidup dan bersemangat. Untuk betul-betul dapat dipenuhi dengan hidup, seseorang harus berada di bawah matahari, bulan dan bintang-bintang yang bersinar, dikelilingi oleh pepohonan hijau yang indah dan air murni dan dunia yang alami.”

Jadi yang pasti beliau bukan seorang fotografer profesional dan malah dikatakan sangat terlambat untuk seseorang yang baru memulai bidang ini ketika berumur 43 tahun. Dalam sebuah tulisannya Daisaku Ikeda mengaku bahwa ia adalah seorang fotografer amatir dan tidak akan pernah menjadi fotografer profesional seperti yang ditulisnya sebagai berikut:

“Saya bukan dan tidak pernah menjadi seorang fotografer profesional, dan karena jadwal saya yang sibuk, saya berakhir dengan mengambil foto ketika berpergian dan satu pertemuan ke pertemuan lainnya; kadang saya berhenti dan mobil hanya untuk mendapatkan sejenak waktu untuk mengambil foto. Saya sangat senang jika saya dapat membagi, walaupun hanya sedikit, kegembiraan saya menyatu dengan kemegahan alam, ‘cermin dan hati’. Dalam jaman yang kacau seperti ini, adalah penting bagi kita untuk berhenti sejenak dan waktu ke waktu, menghela nafas yang dalam, dan melihat ke kedalaman diri sendiri dan dunia sekitar kita,”
Dengan demikian kita dapat melihat cara pikir beliau yang demikian mandiri dan penuh motivasi dalam setiap karya yang dihasilkannya. Foto-foto Dialogue With Nature ini mungkin hanya sedikit dari karya dihasilkan oleh Daisaku Ikeda bersama dengan organisasinya SGI (Soka Gakkai International). Namun sumbangannya bagi perdamaian dunia demikian berharga bagi kehidupan manusia di seluruh muka bumi. Adapun sebagai tambahan informasi akhir selama dipamerkan di Semarang, Yogyakarta dan Surabaya, sesuai dengan misi yang diembannya, Dialogue with Nature berhasil menggugah hati dan membangkitkan semangat Iebih dan 14.000 pengunjung dan berbagai etnis, budaya dan suku bangsa untuk sama-sama menangkai tekad hatinya menuju dunia yang penuh harapan. Jadi mungkin tidak ada salahnya bagi para Himbioners untuk dapat mengunjungi pameran ini mungkin lain kali di kota yang lain karena sayang sekali pameran ini telah berakhir pada tanggal 30 April 2006 yang lalu. (Felicia Lasmana, Biro Informasi & Komunikasi - HIMBIO UNPAD DP XXVII/2006/http://www.himbio-unpad.org/)