Sabtu, September 15, 2007

Gedung Sate

Oleh Taufik Rahzen

27 Juli 1920. Hari ini, 87 tahun silam, dilakukan peletakan batu pertama proyek pembangunan Gedung Sate di Bandung. Ketika selesai dibangun empat tahun kemudian, gedung tersebut segera menjadi salah satu bangunan termegah di Hindia Belanda dan hingga sekarang menjadi landmark paling menonjol dari kota Bandung.
Peletakan batu pertama pembangunan gedung dilakukan oleh Nona Johanna Catherina Coops, putri sulung walikota Bandung B. Coops, dan Nona Petronella Roelofsen, mewakili Gubernur Jenderal Batavia.

Bangunan gedung ini dirancang arsitek Ir J. Berger dari Landsgeboundienst, dinas pembangunan gedung-gedung pemerintah Negeri Belanda. Dibutuhkan tenaga hingga 2.000 orang pekerja. Di antara ribuan pekerja itu, terdapat lebih kurang 150 Cina Konghu atau Kanton, tukang kayu dan pemahat batu yang trampil di negerinya.
Arsitek Belanda, Dr. Hendrik Petrus Berlage, menyebut bahwa Gedung Sate beserta rancangan kompleks Pusat Perkantoran Instansi Pemerintahan Sipil Hindia Belanda di Bandung merupakan sebuah karya besar. Sementara Coor Passchier dan Jan Wittenberg, dua arsitek Belanda yang menginventarisir bangunan kolonial di Bandung, menyebut Gedung Sate sebagai sebagai bangunan monumental yang anggun mempesona, serta memiliki gaya arsitektur yang unik, dan gigantik.

Gedung Sate sendiri sebenarnya hanya bagian kecil atau sekira 5% dari "Kompleks Pusat Perkantoran Insatansi Pemerintah Sipil" Hindia Belanda yang menempati lahan Bandung Utara seluas 27.000 meter persegi.
Oleh penduduk tempo dulu "Gedong Sate" dinamai "Gedong Bebe" yang kemudian lebih populer dengan "Gedung Sate" karena di puncak menara gedung tersebut terdapat "tusuk sate" dengan 6 buah ornamen berbentuk jambu air.

Apa yang sekarang dikenal sebagai Gedung Sate pada mulanya diniatkan sebagai bangunan Pusat Pemerintahan atau Gouvernments Bedrijven (GB) yang bersumbu lurus ke tengah-tengah Gunung Tangkuban Perahu.

Disebut Gouvernments Bedrijven karena gedung tersebut pada mulanya diniatkan sebagai pusat pemerintahan kolonial Hindia Belanda sekaligus tempat berkantor Gubernur Jenderal Hindia Belanda. Pembangunan gedung tersebut dimungkinkan setelah pemerintah Hindia Belanda mengambil keputusan untuk memindahkan pusat pemerintahan Hindia Belanda dari Batavia ke Bandung.

Keputusan untuk menjadikan Bandung sebagai ibukota pemerintahan Hindia Belanda diambil pada 1916. Pilihan itu diambil oleh Koninkelijk der Nederlanden (Negeri Belanda) yang telah melakukan berbagai penelitian di daerah-daerah lain, terutama di pulau Jawa.
Penelitian itu dipicu oleh hasil riset yang dilakukan HF Tillema, seorang ahli kesehatan lingkungan, yang menemukan bahwa bahwa kota-kota di pantai utara pulau Jawa keadaannya kurang sehat. Dipenuhi oleh rawa-rawa yang rentan penyakit. Hawanya panas dan lembab, akibatnya orang susah bernafas, banyak berkeringat, membuat badan cepat lelah.
Pilihan pun jatuh ke Bandung yang secara geografis berada di daerah pegunungan dengan udara yang sejuk dan lebih segar. Keputusan itu diambil pada masa pemerintahan Gubernur Jenderal van Limburg Stirum.

Di tempat ini pulalah, pada bulan-bulan pertama kemerdekaan, terjadi pertempuran hebat antara kaum Republiken yang ingin memertahankan gedung ini dari serbuan tentara Sekutu yang diperkuat oleh tentara Gurkha. Tak cuma itu Gedung Sate ini pernah juga dijadikan pusat pemerintahan Negara Pasundan pada masa pemerintahan RIS.

Gedung Sate tidak hanya menjadi bukti otentik dari riwayat kota Bandung dalam percaturan kehidupan kolonial. Gedung sate pernah pula menjadi lokus di mana kemerdekaan dirayakan dengan patriotik sekaligus di sana pula pernah bercokol satu pemerintahan yang menjadi pengejawantahan gagasan federalisme di Indonesia.Jika hari ini Gedung Sate tak hanya menjadi kantor Gubernur Jawa Barat, tetapi juga menjadi landmark kota Bandung, Gedung Sate menerima status istimewa yang memang telah menjadi haknya.

1 komentar:

webmaster mengatakan...

Hello...
www.artsacademychoir.blogspot.com