Kebangsaan adalah sebuah proses panjang dan melelahkan ihwal perumusan apa yang disebut identitas untuk pemuliaan manusia. Karena itu kebangsaan kerap disandingkan dengan perjuangan mencipta kondisi tumbuhnya situasi kemanusiaan yang di kemudian hari memadat menjadi semangat baru bernegara, yakni nasionalisme.
Perjuangan itu mengambil banyak bentuk dan varian dalam skema perjuangan. Sebelum abad 20, skema perjuangan dominan dilakukan lewat cara-cara peperangan dan adu pasukan di medan laga. Namun dalam dasawarsa pertama abad 20, pola perjuangan memasuki titik perubahan yang cukup signifikan. Titik perubahan itu dipicu oleh sebuah kesadaran baru tentang jalan cetak atau jalan pers. Sekaligus jalan pers ini menjadi semacam pembeda dengan jalan nasionalisme yang ditempuh India yang bertumpu pada hirarki kasta atau nasionalisme Rusia yang memperjuangkan perbenturan kelas dan melahirkan komunisme atau Inggris yang lahir dari gilda dan pasar para borjuis.
Tesis bahwa bangunan kebangsaan kita dididirkan dari tradisi pers bisa dilihat dari fakta sejarah bahwa nyaris seluruh tokoh kunci pergerakan kebangsaan dan nasionalisme adalah tokoh pers. Dan posisi mereka dalam struktur pers umumnya pemimpin redaksi (hoofdredakteur) atau paling rendah adalah redaktur. HOS Tjokroaminoto yang kita kenal sebagai salah satu “guru pergerakan” adalah pemimpin redaksi Oetoesan Hindia dan Sinar Djawa. “Tiga Serangkai” Douwes Dekker, Ki Hajar Dewantara, dan Dr. Tjipto Mangoenkoesoemo menukangi De Express. Semaoen diusianya 18 tahun sudah memimpin Sinar Djawa yang kemudian berubah menjadi Sinar Hindia. Maridjan Kartosoewirjo menjadi reporter dan redaktur iklan di Fadjar Asia. Sebelum berkonsentrasi mengurus dasar pendidikan, Ki Hadjar Dewantara adalah pemimpin redaksi Persatoean Hindia dan bahu-membahu bersuara dalam majalah Pemimpin. Adapun Soekarno menjadi pemimpin redaksi Persatoean Indonesia dan Fikiran Ra’jat. Setelah pulang dari Belanda dan menjadi pemimpin redaksi majalah Indonesia Merdeka dalam Perhimpunan Indonesia (PI), Mohammad Hatta dan dibantu Sjahrir menakhodai Daulat Ra’jat. Bahkan Amir Sjarifuddin dalam Partindo menjadi pemimpin redaksi Banteng, serta masih banyak lagi.
Walau tingkat pendidikan mayoritas rakyat masih rendah, para tokoh pergerakan itu sadar bahwa lembar pers bisa dijadikan medium mengampanyekan ide-ide nasionalisme selain mimbar-mimbar pertemuan. Dengan pers pula pesan dan gagasan memiliki tingkat aksesibilitas dengan cakupan luas, terutama di kancah internasional. Selain itu, dan ini menjadi ciri dari masa percobaan ini, bahasa Indonesia memungkinkan dibentuk dan diberi rumah baru.
Yang menjadi soal kemudian kapan permulaan pertama yang dengan kesadaran penuh menjadikan pers sebagai alat pergerakan dan menjadi kuda tunggangan pembibitan semangat membuat rumah bagi bahasa dan usaha menyatukan kolektivitas tanah dan air dalam semesta kesadaran berbangsa. Peritesis itu kemudian mempertemukan kita dengan sepotong nama Tirto Adhi Soerjo dan Medan Prijaji yang terbit pertama kali di Bandung pada 1907. Tahun 2007 adalah tepat seabad suratkabar mingguan dengan motto di kepala korannya: ja’ni swara bagai sekalian Radja2 Bangsawan Asali dan fikiran dan saudagar2 Anaknegri, lid2 Gomeente dan Gewestelijke Raden dan saudagar bangsa jang terprentah lainnja.”
Menjadikan Medan Prijaji sebagai patok Seabad Pers Kebangsaan dialasdasari pertimbangan sebagai berikut: Pertama, bahwa Medan Prijaji berfungsi sebagai pers, baik tugasnya sebagai jurnalistik yang memberi kabar sekaligus mengadvokasi publiknya sendiri dari kesewenang-wenangan kekuasaan maupun kemauan untuk membangun perusahaan pers yang mandiri dan otonom. Terkait dengan tugasnya yang pertama ini, Tirto mesti berhadapan muka dengan kekuasaan kolonial yang bengis. Sekaligus Medan Prijaji dengan keberbedaannya itu berkesempatan gentayangan dan berkaok-kaok di daratan Eropa. Karena dianggap sebagai jurnalis paling berbahaya dan menunggang kuda petarung yang tak suka basa-basi seperti Medan Prijaji, Tirto kemudian menjadi incaran.
Kedua, visi Medan Prijaji yang tereksplisitkan dalam jargonnya yang beridentitaskan kebangsaan itu memberi implikasi pada keindonesiaan hari ini setelah Medan Prijaji tak ada. Kebangsaan yang dimaksudkan di sini adalah kebangsaan yang diikat oleh dialektika antara kolektivitas tanah air dan bahasa. Dari hubungan dialektika inilah muncul bangsa. Ketiga, konsepsi kebangsaan itu dibangun dengan cara sistematis. Selain jalan pers dengan mendirikan perusahaan yang menopang jalannya pers, Tirto juga turut memulai pergerakan lewat jalan berorganisasi. Titik tuju dua tradisi yang disatukan itu adalah penyemaian kesadaran berbangsa. Dari tangan Tirto lah muncul embrio organisasi yang bercorak seperti Boedi Oetomo, yakni ketika pada 1906 atau dua tahun sebelum Boedi Oetomo, ia mendirikan Sarekat Prijaji. Dan Tirto pulalah rancangan pertama Sarekat Islam yang melahirkan banyak sekali tokoh pergerakan, baik kiri, tengah, maupun kanan, saat dia mengonsep Sarekat Dagang Islamijah di Bogor dan kemudian dikembangkan Samanhudi di Surakarta. Tirtolah yang menyatukan tradisi pergerakan dan tradisi pers untuk satu tujuan, yakni kesadaran berbangsa.
Keempat, karena dilakukan secara sistematis itulah maka posisi dan tindakan Tirto bukan sekadar sebagai historical piece atau irisan sejarah yang biasa, tapi membuat momentum sejarah di mana sejarah menjadi patok untuk aksi sejarah ketika semua peristiwa berkumpul pada saat itu dan orang menilai peristiwa itu sebelum dan sesudah peristiwa itu berlangsung. Medan Prijaji memberi dampak besar dan menginspirasikan gerak selanjutnya. Bahwa sudah ada yang terbit duluan, itu tidak jadi soal. Namun kita berbicara dampak bagi pembentukan mandat kebangsaan. Pada saat Medan Prijaji itulah momentum sejarah dipetakan dan perang terbuka di media massa diserukan. Bertitik tolak dari situ pulalah gerakan-gerakan kebangsaan itu mulai mengkristal, membangun gerakan kebudayaan dengan kantong-kantong organisasi modern, memaksimalkan pers sebagai alat perjuangan.
Dan kelima, Pramoedya Ananta Toer adalah orang yang dengan jernih melihat kehidupan semasa Tirto dan Medan Prijaji. Dari usaha Pram itulah pribadi ini diketahui dunia internasional dan ribuan lapisan masyarakat kita hari ini. Karena itu mengajukan namanya karena pribadi ini yang paling mudah diterima masyarakat.
Kelima alasan itulah kemudian kami bersikukuh bahwa patok pers kebangsaan adalah Medan Prijaji dan Tirto Adhi Surjo menjadi pemancang patok itu. Dengan memancangkan patok ini paling tidak kita menarik dua hal: (1) memiliki protagonis atau tokoh idola yang diteladani baik di dunia pers maupun dalam pergerakan; (2) kita bisa menafsirkan sejarah Indonesia dalam perspektif yang baru. Dengan mengambil Tirto Adhi Soerjo sebagai model, maka polemik bahwa Indonesia dibangun oleh kalangan Jawa atau kalangan Islam itu bisa diselesaikan. Dan itu menjadi sumbangan berarti bagi pembelahan bangsa yang panjang ini, sebagaimana kita saksikan di sidang-sidang konstituante bagaimana pembelahan negera Islam dan negara nasionalis terjadi. Kalis melihat soal itu, kita pun terdorong ke sistem Demokrasi Terpimpin yang berakhir tragis pada peristiwa G 30 S.
Orang selalu mengatakan bahwa gerakan yang pertama kali berlingkup nasional itu adalah Sarekat Islam. Yang lain mengatakan bahwa yang pertama adalah Boedi Oetomo yang berarti Jawa. Orang tak sadar bahwa kedua gerakan yang dipertentangkan itu lahir dan bermuara pada sumur yang sama, yakni Tirto Adhi Soerjo. Jadi tujuan Tirto/Medan Prijaji adalah memerdekakan. Dia dengan jelas memberitahu konsepsi kebangsaan itu tidak dibangun berdasarkan atas suku dan agama, tapi gerakan intelektual, kesadaran bahasa, dan keyakinan bertanah air. Jadi jika dicari semua gerakan itu, terutama gerakan nasionalis dan gerakan Islam, bersumbu pada sumur yang sama.
* * *
Manggadua, 7 Desember 1918. Sebuah iringan kecil—sangat kecil—mengantarkan jenazahnya ke peristirahatan terakhir. Tak ada pidato-pidato sambutan. Tak ada pewartaan atas jasa-jasa dan amalan dalam hidupnya yang kalis bersabung maut dan berakhir sunyi senyap. Sebab selepas itu orang pun meninggalkannya, sejarah mengabaikannya, dan namanya nyaris tercoret dari sejarah pers dan pergerakan kebangsaan. Cuma ada dua potong berita nekrologi yang ditulis Marco Kartodikromo yang mengabarkan kepergiannya dimuat di Sinar Hindia (12 Desember 1918) dan Djawi Hisworo (13 Desember 1918).
Hari ini, 7 Desember 2007, tradisi pers Indonesia menapaktilasi perjuangan Tirto Adhi Soerjo selama seabad dan menarik kehadiran Medan Prijaji sebagai patok dimulainya sejarah pers kebangsaan. Dan sekaligus hari ini ditandai sebagai tonggak Hari Pers Indonesia, tepat di hari ketika Tirto wafat di mana dalam sepanjang hidupnya sudah meneguhkan tugas dan posisi pers: bagaimana pers mesti berhadapan dengan kekuasaan, bagaimana pers mesti membangun perniagaan untuk bisa bertahan dan hidup sehat, serta bagaimana mestinya keberpihakan pers terhadap masyarakat lemah dalam membangun kritisisme dan sekaligus mendorong keswadayaannya. (Taufik Rahzen, Kurator)
Peringatan Seabad Pers Kebangsaan di Gedung Indonesia Menggugat Bandung
Setelah adzan Isya dikumandangkan, sebagian tamu undangan melaksanakan shalatnya, kemudian duduk kembali di Aula Utama Gedung Indonesia Menggugat, Bandung, malam itu (7/12), karena pembukaan peringatan Seabad Pers Kebangsaan (1907 - 2007) akan dimulai setelah dilaksanakan Konferensi Pers pada sore harinya.
Taufik Rahzen selaku kurator peringatan acara tersebut memaparkan kembali betapa pentingnya momentum sejarah untuk dilihat sebagai ingatan kolektif bangsa Indonesia pada pers Indonesia, yaitu melalui Tirto Adhi Soerjo dengan Medan Prijaji (1907) yang dipimpinnya. “Saya tidak semata-mata menyatakan hari ini sebagai Hari Pers Nasional, tapi sebagai Hari Pers Indonesia,” kata Taufik Rahzen.
Peringatan Seabad Pers Kebangsaan (1907-2007) pada Jumat, 7 Desember 2007 malam dihadiri oleh buyut Tirto Adhi Soerjo, yaitu Dewi Yull. “Saya kaget dengan acara Haul buyut saya (Tirto Adhi Soerjo – red.) Karena baru diberitahu 2 hari sebelumnya, dan saya hadir di sini menerima hadiah ini (frontpage Medan Prijaji – red.). Sekaligus saya mewarisi semangat pemberontak buyut saya,” ujar Dewi Yull dalam pidatonya seusai menerima hadiah dari Kurator Seabad Pers Kebangsaan, Taufik Rahzen.
Medan Prijaji menjadi tonggak kebangkitan pers Indonesia dan diakhiri oleh penerbitan Harian Jurnal Nasional. Agus Sopian, Redaktur Jurnal Nasional, juga menerima hadiah kenang-kenangan dari Taufik Rahzen mewakili Pimpinan Umum Harian Jurnal Nasional yang benghalangan hadir pada waktunya. Acara seremonial tersebut sekaligus membuka pameran ‘Sampul Pers Indonesia’ yang dimulai pada tanggal 7 Desember 2007 – 6 Februari 2008, pukul 10.00 – 18.00 wib (kecuali hari Minggu) di Gedung Indonesia Menggugat; Jalan Perintis Kemerdekaan 5, Bandung.
Dialog Seabad Pers Kebangsaan (1907-2007) akan diselenggarakan bersamaan dengan “Anugerah Tirto Adhi Surjo” dan Peluncuran buku “Seratus Tokoh Pers Indonesia” pada Sabtu, 22 Desember 2007 pukul 10.00 – selesai, di Gedung Indonesia Menggugat, Bandung. (Argus Firmansah/Kontributor Jurnal Nasional)